Beberapa Hukum yang Berkaitan Dengan Haidh

Pada pembahasan haidh kali ini, kita akan membahas tentang masalah hukum yang berkaitan dengan wanita haidh.Para suamipun perlu mengetahuinya karena terkadang sering kita dengar ada sebagian saudara kita yang menjatuhkan talak diwaktu istrinya sedang haidh, padahal ini tidak dibenarkan dalam islam. Untuk lebih jelasnya marilah kita lihat lebih lanjut lagi.

\r\n

1. Boleh bagi wanita memakai cacar di tangannya waktu ia sedang haidh. (Fatwa Syaikh Ibnu Jibrin di dalam Fatawa Al-Mar\’ah Al-Muslimah, 2/282)

2. Tanda suci dari haidh ialah keluarnya cairan bening, ia dikenal oleh setiap wanita -saat terhentinya haidh-. Maka apabila ia melihat cairan bening tersebut sesudah terhentinya darah dan warna kemerah-merahan dan kekuning-kuningan, maka ia wajib segera mandi (bersuci) dari haidh. (Untuk lebih jelasnya, lihat Al-Fatawa An-Nisa\’iyah oleh Syaikh Ibnu Utsaimin.)

\r\n

3. Cairan warna keruh (kemerah-merahan) dan kekuning-kuningan yang keluar pada waktu suci adalah suci (bukan haidh), dan yang keluar pada waktu haidh adalah haidh. Maka apabila seorang wanita melihat cairan berwarna keruh atau kekuning-kuningan pada hari-hari haidhnya, maka itu adalah termasuk darah haidh. Maka ia tidak boleh segera mandi (bersuci) dari haidhnya sebelum melihat cairan bening keputih-putihan. Adapun bila ia melihat cairan keruh atau kelembaban pada hari-hari sucinya, maka itu bukan haidh, karena berdasarkan hadits yang bersumber dari Ummi ‘Athiyah Radhiallahu ‘Anha: “Kami tidak menganggap cairan berwarna kekuning-kuningan dan keruh sesudah suci (dari haidh) sebagai haidh”. (Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin di dalam Al-Fatawa An-Nisa\’iyah, hal. 25)

\r\n

4. Tidak mengapa wanita haidh atau nifas membaca doa-doa ma’tsurat dan juga tidaklah mengapa ia membaca Al Qur’an (Majmu’ Fatawa 26/191), menurut pendapat yang lebih kuat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan: tidak ada dasar sunnahnya sama sekali yang melarangnya (wanita haidh atau nifas) untuk membaca Al Qur’an. Hanya saja ia membacanya di luar kepala (hafalan) tanpa memegang mushaf. Adapun orang yang dalam keadaan junub, ia tidak boleh membaca Al Qur’an, di luar kepala (hafalan) ataupun membacanya dari mushaf, sebelum ia mandi bersuci. (Lihat fatwa Syaikh Ibnu Baaz di dalam Fatawa Al-Mar\’ah Al-Muslimah, hal. 44)

\r\n

5. Bersetubuh di waktu haidh hukumnya haram, karena Allah subhanahu wata’ala telah berfirman: Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, \’\’Haidh itu adalah suatu kotoran.\’\’ Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222) Dan para ulama telah sepakat bahwasanya haram bagi suami bersetubuh dengan istrinya di waktu haidh. Maka istri harus mencegah suaminya dari hal tersebut, dan jangan memenuhi permintaannya, karena hal tersebut diharamkan, dan tidak ada ketaatan kepada makhluk (suami pun) dalam kemaksiatan kepada Sang Khaliq. Tetapi suami boleh bercumbu rayu dengan istrinya di masa haidh selain pada kemaluannya. (Lihat Fatwa Syaikh Muhammad bin Ibrahim di dalam Fatawa Al-Mar\’ah Al-Muslimah, 1/281)

\r\n

6. Barangsiapa yang melanggar dan terlanjur menggauli (bersenggama) istrinya di kala haidh, maka wajib ia bertaubat, kemudian membayar kafarat, yaitu bersedekah sebanyak satu dinar atau setengahnya. Satu dinar itu sama dengan satu mitsqal emas, yaitu sama dengan 4/7 junaih Saudi, karena satu junaih itu sama dengan 2 dinar kurang seperempat (atau dengan gram adalah 4 ¼ gram). (Lihat Fatwa Syaikh Abdurrahman As Sa\’diy di dalam Fatawa Al-Mar\’ah Al-Muslimah, 1/280)

\r\n

7. Apabila wanita yang haidh suci sebelum terbit fajar dari bulan suci Ramadhan, sekalipun hanya satu menit, sedangkan ia yakin akan kesuciannya, maka ia wajib berpuasa pada hari itu dan tidak wajib menggantinya, sekalipun ia belum bersuci (mandi), kecuali sesudah terbit fajar. Dan jika wanita datang masa haidhnya sesudah terbenam matahari sesaat, maka puasanya tetap sah. (Al-Fatawa An-Nisa\’iyah op.cit.hal. 39)

\r\n

8. Apabila wanita haidh suci di tengah hari bulan suci Ramadhan, maka ia wajib imsak (menahan diri dari makan dan minuman) dan wajib baginya mengganti (qadha’) pada hari itu. (Tuhfah Al-Ikhwan bi Ajwibah Tata\’allaqahu bi Arkanil Islam, oleh Syaikh Ibnu Baaz, hal. 179)

9. Haram hukumnya mencerai istri yang sedang haidh; seharusnya sang suami mencerai istrinya pada waktu ia suci (dari haidh) dan belum mencampurinya, sehingga istri mengahadapi masa iddah, yaitu tiga kali haidh. Allah subhanahu wata’ala berfirman: Artinya: “Dan wanita-wanita yang dicerai, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. Dan barangsiapa yang mencerai istrinya di saat ia sedang haidh, maka ia wajib bertaubat kepada Allah dan kembali kepada istrinya, agar kemudian mencerainya secara syar\’i, karena hadits Nabi shallallahu \’alaihi wa sallam menegaskan: \’\’Suruh ia kembali kepada istrinya, kemudian ia tetap bersamanya hingga istrinya suci, kemudian haidh lagi dan suci. Baru setelah itu jika ia ingin tetap bertahan, maka bertahanlah, dan jika memilih bercerai, maka cerailah sebelum mencampurinya. Itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah, yang karenanya istri boleh dicerai\’\’. (Lihat Fiqhu Al-Haidh oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 25-26)

\r\n

10. Wanita, apabila ia telah mengenal kebiasaan bulanannya, lalu berhenti dan yakin akan kesuciannya, kemudian ia mandi (bersuci), maka statusnya adalah suci. Dan kalau sesudah itu ia melihat sesuatu seperti (keluar) darah atau cairan kekuning-kuningan, atau cairan keruh, maka itu adalah darah istihadhah (darah penyakit). (Fatwa Syaikh Ibnu Jibrin di dalam Fatawa Al-Mar\’ah Al-Muslimah, 2/277)

\r\n

11. Bagi wanita yang istihadhah (berpenyakit pendarahan) hanya wajib mandi satu kali, yaitu sesudah masa haidhnya habis, dan sesudah itu tidak wajib lagi baginya mandi, ia hanya diwajibkan berwudhu untuk setiap kali akan shalat. (Fatwa Syaikh Muhammad bin Ibrahim di dalam Fatawa Al-Mar\’ah Al-Muslimah, 1/292)

\r\n

12. Apabila seorang wanita merasa sakit karena mau melahirkan hingga hilang kesadaran akan shalat selama dua hari atau lebih, sedang tidak keluar darah daripadanya, maka ia harus mengqadha\’ (mengganti) shalat-shalat yang ia tinggalkan, karena ketidaksadaran karena penyakit atau karena nyeri atau yang lainnya tidak menggugurkan kewajiban shalat, apalagi darah nifas tidak keluar darinya. (Fatwa Syaikh Abdurrahman As Sa\’diy di dalam Fatawa Al-Mar\’ah Al-Muslimah, 1/301)

\r\n

13. Jika wanita melihat darah sebelum melahirkan satu hari atau kurang, maka darah itu termasuk darah nifas, maka ia tidak wajib shalat pada saat itu. Adapun jika darah belum keluar, maka ia wajib shalat, sekalipun telah merasakan sakit akan melahirkan. (Fatwa Syaikh Ibnu Jibrin di dalam Fatawa wa Fawaa\’id Tahummul Mar\’atul Muslimah, hal. 75)

\r\n

14. Jika wanita mengalami keguguran kandungan tiga bulan yang sudah terdapat bentuk manusia, seperti kepala atau tangan atau kaki atau lainnya –dimana para ulama menyebutkan bahwa sesungguhnya dimungkinkan bentuk janin itu akan jelas jika sudah mencapai 81 hari, yaitu masa kurang dari tiga bulan- maka berlaku baginya hukum nifas, dan ia tidak boleh shalat, tidak boleh puasa, dan tidak halal bagi suami mencampurinya (melakukan jima\’) sebelum istrinya suci dan sempurna 40 hari. Adapun jika janin belum berbentuk manusia, hanya berupa gumpalan daging atau berupa darah, maka berlaku baginya hukum istihadhah hingga bersih, dan boleh melakukan shalat jama\’ antara dhuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya\’ dan ia terus mandi pada setiap kali akan melakukan shalat jama\’ tersebut.

\r\n

(Fatwa Syaikh Ibnu Baaz di dalam Fatawa Al-Mar\’ah hal. 46) Sumber: Pedoman Wanita Muslimah, Marfat binti Kamil bin Abdullah Usrah, dterbitkan oleh Kantor Dakwah Komplek Industri lama, Riyadh).


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *