Pendidikan vs Kebodohan | Jilbab Online

Sumber ilustrasi

Wajibnya Mengikuti Pendidikan/Menuntut Ilmu

Pendidikan yang berarti mengandung amalan-amalan belajar-mengajar, bertanya-menjawab, memperhatikan, menuntut ilmu dan sebagainya, merupakan suatu amalan yang wajib dilakukan oleh setiap muslim, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah,

“Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim.” (H.R. Ibnu Majah no. 224)

Memberi pendidikan pun wajib dilakukan sebagaimana sabda Rasulullah,

“Perintahkan anak-anak shalat jika sudah berumur 7 tahun, dan jika telah berumur 10 tahun, maka pukullah jika mereka meninggalkannya (shalat).” (H.R. Abu Dawud no. 494)

Dalam sebuah hadits lain, Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, niscaya -dengan hal itu- Allah jalankan dia di atas salah satu jalan dari jalan-jalan surga. Sesungguhnya para malaikat membentangkan sayap-sayap mereka karena ridha terhadap thalibul ilmi (pencari ilmu agama). Dan sesungguhnya seorang alim itu dimintakan ampun oleh siapa saja yang ada di langit dan di bumi dan oleh ikan-ikan di dalam air. Sesungguhnya keutamaan seorang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama dariapda seluruh bintang-bintang di langit. Dan sesungguhnya para ulama itu pewaris para nabi. Para nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia mengambil bagian yang banyak.” (H.R. Abu Dawud no 3641, dan lainnya. Lihat al-Hilali dalam Bahjatun Nadzirin II/470 hadits no. 1388)

Menurut Syaikh Utsaimin, “Telah diketahui bahwa ilmu yang diwariskan oleh para nabi adalah ilmu syariat Allah, bukan lainnya. Sehingga para nabi tidaklah mewariskan ilmu teknologi dan yang berkaitan dengannya kepada manusia.” (Kitab al-‘Ilm hal. 11 karya Syaikh al-Utsaimin.)

Sementara itu Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Menuntut ilmu syar’i adalah fardhu kifayah, kecuali hal-hal yang wajib bagi setiap manusia. Seperti, setiap orang wajib menuntut ilmu tentang hal-hal yang diperintahkan Allah dan yang dilarang-Nya; karena sesungguhnya hal (seperti) ini wajib (fardhu ‘ain) atas setiap manusia. ” (Majmu Fatawa XXVIII/80)

Kebodohan, Sesuatu yang Harus Dihindari

Sementara itu kebodohan, sesungguhnya merupakan penyakit yang harus segera diobati dengan ilmu dan bukan dengan lainnya. Hal ini mengandung pengertian bahwa yang jahil tidak boleh meminta atau memberi fatawa kepada yang jahil lainnya. Sebagaimana seorang butak tidak boleh menuntut atau dituntun orang buta lainnya.

Lihatlah, bagaimana tepatnya sabda Rasulullah dalam sebuah (penggalan) hadits yang panjang,

“Tidakkah mereka bertanya ketidak tidak tahu, padahal sesungguhnya obat kebodohan hanyalah bertanya.” (H.R. Abu Dawud no. 336)

Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kebaikan anak Adam ialah dengan iman dan amal shalih. Tidaklah mengeluarkan mereka dari kebaikan, kecuali dua perkara. Pertama, kebodohan, kebalikan dari ilmu; sehingga orang-orang akan menjadi sesat. Kedua, mengkuti hawa nafsu dan syahwat yang keduanya ada di dalam jiwa; sehingga orang-orang akan mengikuti hawa nafsu dan dimurkai (Allah).” (Majmu’ Fatawa XV/242)

Menurut Syaikul Islam Ibnu Taimiyah, “Sehingga orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan kebodohan (tanpa pengetahuan) sesungguhnya akan lebih banyak merusak daripada membangun, sebagaimana dikatakan oleh sebagian salafus shalil, ‘Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan kebodohan, dia telah membauat kerusakan lebih banyak daripada membuat kebaikan.’” (Majmu’ Fatawa XXV/281)

Dunia Pendidikan Dewasa Ini

Di bidang pendidikan dewasa ini, manusia lebih banyak secara sangat serius menekuni ilmu-ilmu dunia dibandingkan dengan ilmu-ilmu akhirat. Tidak terkecuali bahwa sebagian kaum muslimin juga melakukan hal yang serupa. Padahal amalan ini sangat dibenci oleh Allah sebagaimana dalam firman-Nya:

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedangkan mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Q.S. ar-Rum: 7)

Tafsir ayat ini menurut Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, “Hati, kecintaan, dan kehendak mereka (kebanyakan manusia -red) tertuju kepada dunia, selera-selera dan kesenangannya, sehingga mereka bekerja untuk meraihnya, berusaha, datang dan pergi karenanya, tetapi lalai terhadap akhirat.

Mereka tidak merindukan surga, tidak takut ataupun khawatir terhadap neraka. Mereka tidak cemas atau takut berdiri menghadap-Nya dan bertemu dengan-Nya (di akhirat -red). Itulah tanda kecelakaan, dan lalai dari akhirat.”

Yang mengherankan, bahwa kelompok manusia tersebut kebanyakan sangat pandai dan cerdas dalam perkara dunia secara lahiriah, sampai perkara yang membingungkan akal dan mencengangkan pikiran. Mereka mampu menampakkan keajaiban-keajaiban masalah atom, listrik, kendaraan darat, laut, dan udara. Perkara-perkara yang mereka dapat melebihi yang lainnya dan menonjol. Dan mereka menganggap orang lain tidak mampu melakukan apa yang Allah telah berikan kemampuan kepada mereka. Sehingga mereka memandang orang lain rendah atau remeh.

Walaupun demikian mereka adalah orang yang paling bodoh terhadap perkara agama mereka, paling lalai terhadap akhirat, paling sedikit pengetahuannya terhadap akibat-akibat (segala akibat -red). Orang-orang yang memiliki pandangan tajam, melihat bahwa mereka berbuat ceroboh dengan kebodohannya, bingung dalam kesesatan, dan terombang-ambing dengan kebatilannya. Mereka lupa kepada Allah, maka Allah melupakan atas (kebaikan untuk -red) diri mereka. Mereka adalah orang-orang fasik……. Perkara-perkara (ilmu-ilmu) dunia seandainya diiringin keimanan pastilah membuahkan kemajuan yang tinggi dan kehidupan yang baik. Akan tetapi karena kebanyakan dibangun atas kekafiran, maka tidaklah membuahkan (hasil) kecuali merosotnya akhlak dan sarana-sarana kebinasaan dan kehancuran. (Taisir Karrimir Rahman ar-Rum:7)

Kaum kuffar memprioritaskan sukses di dunia sebagai tujuan utama, sehingga apapun akan dilakukan untuk memperoleh predikat “yang paling top”. Misalnya, seorang penjual (sales) harus paling banyak menjual, selebritis harus menjadi mahabintang, manajer harus yang paling besar gajinya, dan seterusnya. Anak-anak kecil pun dididik atau bahkan “dipaksakan” untuk menjadi paling pandai, mendapat rangking, dan sebagainya. Sedangkan jika sudah dewasa harus mempunyai gelar, sehingga kalau perlu gelar pun dibeli tanpa mempunyai kepandaian atau keahlian dalam suatu bidang. Bahkan untuk bidang ilmu ghaib pun, manusia bisa memperoleh (baca: membeli) gelar Doktor.

Renungkanlah sabda Rasulullah,

“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takutkan atas kalian, tetapi yang aku takutkan (justru) jika dunia dilapangkan buat kalian, sebagaimana telah dilapangkan buat orang-orang sebelum kalian. Lantas kalian saling berlomba (untuk mendapatkan) dunia, sebagaimana mereka berlomba (untuk mendapatkan) duniam kemudia dunia itu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (Bukhari no. 3761, 6061, Muslim no. 2961 HSR Ibnu Majah (Al Fitan) 2462Muslim (Zud War Raqoiq no 296). Lafadz lain (HSR Bukhari (Riqaq) dari sahabat ‘Amr bin Auf al Anshari)

Di samping itu terdapat kenyataan bahwa jumlah kaum kuffar yang milyaran itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah kaum muslimin yang ratusan juta saja. Belum lagi kalau dibandingkan dengan jumlah kaum yang menempuh jejak Salafus Salih, yang tentunya lebih sedikit lagi. Pola hidup dan pola pikir mayoritas kaum kuffar ini yang sangat mendominasi pola hidup dan pola pikir manusia, termasuk juga mempengaruhi oila hidup dan pola pikir kaum muslimin. Sehingga akhirnya di sana-sini terjadi berbagai penyelewengan aqidah. Kaum muslimin sedikit demi sedikit, secara sadar atau tidak sadar mengikuti kaum kuffar, sebagaimana disinyalir oleh Nabi dalam sabdanya:

“Kalian betul-betul akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum, kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, bahkan kalau mereka masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalian mengikuti mereka (memasukinya).” Kami (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, (yang Anda maksud) orang-orang Yahudi dan Nasrani? Rasulullah menjawab, “(Kalau bukan mereka,) lalu siapa lagi?” (H.R. al-Bukhari no. 6889, Muslim no.2669)

Hal ini juga terjadi di dunia pendidikan kaum muslimin, mereka terpaksa atau dipaksa untuk mengikuti pola kaum kuffar. Di antaranya keharusan ikhlilath (campur gaul lelaki perempuan bukan mahram), mengkuti pendidikan olahraga yang membuka aurat, belajar musik, melukis binatang dan manusia, dan lain sebagainya. Bahkan kejadian yang terakhir di Perancis, murid-murid muslimat dilarang memakai jilbab.

Pada pola pendidikan Barat (baca: modern), seorang guru hanya berfungsi sebagai pegawai yang menerima gaji setiap bulan. Hal ini juga terlihat pada sekolah-sekolah yang memakai nama Islam. Pada sisi lain (pola Islam) seorang guru (ustadz) harus menjadi suri tauladan bagi anak-didiknya. Namun sekarang anak-anak didik kehilangan suri tauladan yang baik (uswatun hasanah) dari gurunya.

Padalah Allah berfirman,

“Sesungguhnya telah pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu bagi bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. al-Ahzab:21)

Malas Menuntut Ilmu dan Timbulnya Kebodohan

Akibat malas menuntut ilmu, timbullah kebodohan, dan pada akhirnya membuahkan hasil bahwa mayoritas umat Islam secara sedikit demi sedikit kehilangan kepercayaan atas kebenaran agama Islam yang mulia ini. Mereka lebih percaya kepada berbagai ajaran non-Islam. Di bidang ekonomi mereka lebih percaya kepada sistem perbankan, sampai timbul keraguan haram tidaknya bunga bank. Di bidang politik, mereka lebih senang demokrasi, sampai mencari-cari ayat dan hadits untuk membenarkan demokrasi. Di bidang ilmu umum mereka lebih sukfa filsafat. Di bidang etika pergaulan mereka lebih suka etika model Barat dan Timur. Dan sebagainya.

Hal ini diperparah dengan berkurangnya kepercayaan sebagian besar kaum muslimin terhadap firman Allah tentang telah sempurnanya agama Islam,

“… Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu.. “

Sehingga mereka merasa perlu memperbaiki atau menyempurnakan tata cara beribadah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, misalnya mengadakan zikir massal, istigatsah kubra, berdakwah dengan iringan musik, liberaliasi agama Islam, modernisasi dakwah dengan sistim manajemen, dan lain sebagainya.

Mengatasi Akibat-Akibat Kebodohan

Setiap muslim hendaknya memahami posisi masing-masing dalam masyarakat. Apakah dia seorang penguasa, seorang ulama, atau seorang awam. Jika dia seorang awam (baca: jahil) hendaklah berlaku sebagai orang awam; tidak bersikap melampaui batas seolah-olah dia adalah seorang penguasa atau ulama atau tergesa-gesa berkesimpulan bahwa dirinya penguasa atau ulama. Sebaiknya dia bersabar dan berkonsentrasi terhadap kewajibannya, tugas dan wewenangnya (sebagai orang awam) dalam beribadah kepada Allah, sehingga terjadi kemaslahatan bagi semua pihak. Misalnya, dapat dihindari adanya tindakan main hakim sendiri, dihindari sibuk memikirkan bagaimana memperbaiki negara, sehingga tidak berselisih dengan para penguasa, dihindari berdakwah atau mengajar tanpa ilmu, dan lain sebagainya.

Untuk membangun masyarakat islami yang sebenarnya, maka tidak ada cara lain kecuali dengan membentuk generasi yang berilmu, generasi yang cinta mempelajari ilmu secara benar dan kemudian mengajarkannya kepada orang awam dengan baik dan benar pula, termasuk memberi contoh (uswatun hasanah). Metode inilah yang disebut para ulama sebagai metode tashfiyah wat tarbiyah.

Menurut Syaikh Ali Hasan Al Atsari, tashfiyah artinya membuang semua teori non-Islam yang menyusup ke dalam Islam serta memasukkan kembali ajaran-ajaran Islam yang terlupakan (terbuang). Sehingga Islam menjadi bersih kembali seperti saat diturunkan kepada Nabi dan difahami oleh seluruh sahabat dan para pengikutnya.

Tarbiyah artinya mendidik generasi Islam tentang ajaran Islam yang sudah bersih, sehingga mereka faham ajaran Islam yang benar dan bukannya tercampuri oleh bid’ah, khurafat dan kekufuran. (Lihat at-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruha fi Isti’nasi al_hayat al-Islamiyah oleh Syeikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid al-Atsari).

Pola pendidikan disebut positif jika berhasil mendekatkan umat dengan ulama dan dikatakan negatif jika semakin menjauhkan umat dengan ulama.

Jika pendidikan ini hanya bertumpu pada teori-teori Barat (teori modern, yang tak pernah selesai dimodernisasi) untuk mencetak orang yang sangat cinta duniawi, tanpa pengetahuan tentang ajaran agama yang haq, maka hasilnya adalah “mimpi belaka atau omong kosong saja”. Apalagi jika hasilnya nanti berupa sintesa atau kompromi antara pemahaman iman dan kufur, tentunya akan lebih buruk lagi daripada sekedar tanpa ada hasilnya.

Wallahu a’lam bisshawab

Artikel ini disusun oleh Ahmad Abu Ari yang terdapat dalam majalah Fatawa Volume 04 Tahun II/1425H-2004M.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *