Imam Ahmad bin Hambal, Siapa Tidak Kenal??


Setiap kali membaca biografi Ahmad bin Hambal, kita akan bertemu dengan sosok
yang gigih dalam membela sifat-sifat Allah yang haq, meskipun beliau disiksa bertahun
-tahun lamanya. Tidak gentar, tidak berpaling, dan tidak mengerahkan murid-muridnya
untuk melawan penguasa, tetapi malah selalu mendoakan pemimpin (meski mereka
amat sangat zalim sekali)
, sebagaimana beliau pernah berkata, “Sekiranya saya memiliki
doa yang pasti terkabul, tentu doa itu kutujukan untuk pemimpin”.


Nasab dan Kelahirannya

Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Nasab beliau bertemu
dengan nasab RasuluLlah
sholaLlahu a’laihi wasallam pada diri Nizar bin Ma’d bin
‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa-tempat
tinggal sang ayah-, ke kota Baghdad. Di kota itulah beliau dilahirkan, tepatnya pada
bulan Rabi’ul Awwal 164H. Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30
tahun, ketika beliau baru berumur 3 tahun.

Masa Menuntut Ilmu

Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti
Maimunah, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang
ayah meninggalkan dua rumah untuk mereka: satu ditempati sendiri, dan satunya
disewakan dengan harga sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan
keadaan syaikhnya, Imam Syafi’i,
yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai
semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka
kepada kemajuan dan kemuliaan.

Beliau mendapatkan pendidikan pertamanya di Baghdad.Setamatnya menghafal
AlQuran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttan saat berusia 14 tahun,
beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Perhatian beliau saat itu tengah tertuju
pada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Orang pertama tempat
mengambil hadits adalah Al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah. Pada
usia 16 tahun, Imam Ahmad mulai tertarik untuk menulis hadits. Beliau melakukan
mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim Al-Wasithy hingga
syaikhnya wafat, dan telah belajar lebih dari 300.000 hadits.

Pada umur 23 tahun, beliau mulai mencari hadits ke Bashrah, Hijaz, Yaman, dan kota
lain. Selama di Hijaz, beliau banyak mengambil hadits dan faidah dari Imam Syafi’i,
bahkan Imam Syafi’i sendiri amat memuliakan Imam Ahmad dan menjadikan beliau
sebagai rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Demikianlah ketekunan
beliau, sampai-sampai beliau baru menikah di usia 40 tahun. Seseorang pernah berkata
kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah menjadi imam kaum muslimin”.
Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah(kubur). Aku
akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur”. Beliau senantiasa seperti itu:
menekuni hadits, memberi fatwa, dsb. Banyak ulama yang pernah belajar kepada
beliau, semisal kedua putranya, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zur’ah, dan lain-
lain.

Kitab-kitab beliau

Kitabnya yang terkenal, al-Musnad, beliau susun dalam waktu 60 tahun sejak beliau
pertama kali tertarik menulis hadits. Beliau juga menyusun kitab Al-Manasik ash-
Shaghir dan Al-Kabir, kitab Az-Zuhud, Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah wa az-Zindiqiyyah,
kitab as-Sholah, as-Sunnah, al-Wara’ wa al-Iman, al-‘Ilal wa ar-Rijal,Fadhail ash-
Shahabah, dan lain-lain.

Penghormatan Ulama lain kepada Beliau

Imam Syafi’i pernah mengusulkan ekpada Khalifah Harun Ar-rasyid pada hari-hari akhir
hidup khalifah, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam
Ahmad menolaknya, dan berkata kepada Imam Syafi’i, “Saya datang kepada Anda untk
mengambil ilmu, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qodhi untuk mereka”.

Pada masa khalifah setelahnya, Imam Syafi’i juga mengusulkan hal yang sama, lagi-lagi
Imam Ahmad menolaknya.

Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang seperti Ahmad bin
Hambal”. Orang-orang bertanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang
engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika
ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah
dikabarkan kepada kami’, atau ‘Telah disampaikan hadits kepada kami’”

Keteguhan di Masa Penuh Cobaan

Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari
ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan
rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapat cobaan dari tiga
orang khalifah Bani Abbasiyah 16 tahun lamanya.

Di masa kekhalifahan Al-Makmun, ahlul-bid’ah dari golongan Mu’tazilah yang dipimpin
Ibnu Abi Duad mendapat angin segar. Mereka leluasa menyebarkan pemahaman
sesatnya (semisal pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam),
sehingga khalifah Al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama
mereka, untuk meyakini bahwa Alquran adalah makhluk. Padahal, pada masa khalifah
sebelumnya, Harun ar-Rasyid dan Al-Amin, pendapat tentang kemakhlukan AlQuran
telah ditindak tegas.

Untuk memaksa kaum muslimin tersebut, Al-Makmun sampai mengadakan ujian. Dan
selama itu, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya.
Meski begitu, tidak terhitung pula jumlah ulama yang menolak pendapat bahwa
AlQuran adalah makhluq, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten
bahwa AlQuran itu kalamullah, bukan makhluk.

Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad
dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun
akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh
meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus
, sedangkan Imam Ahmad
dibawa kembali ke Baghdad dan dipenjara disana karena telah sampai kabar tentang
kematian Al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan
kebaikan untuk Al-Makmun.

Sepeninggal Al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, Al-Mu’tashim.
Khalifah ini tetap berpegang pada kemakhlukan AlQuran. Imam Ahmad
dikeluarkannya dari penjara dan dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dkk. Mereka
mendebat beliau tentang kemakhlukan AlQuran, tetapi beliau mampu membantahnya
dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai
tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam disana
selama sekitar 28 bulan. Selama itu beliau sholat dan tidur dalam keadaan kaki
terbelenggu.

Selama itu pula, setiap harinya Al-Mu’tashim mengutus orang untuk mendebat beliau,
tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akhirnya, bertambah kemarahan Al-
Mu’tashim. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya
mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu diterima
Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang kokoh
menjulang.

Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam
keadaan tidak mampu berjalan
. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat,
beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai Al-Mu’tashim
wafat.

Selanjutnya, Al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad
keluar berkumpul bersama orang-orang
. Akhirnya, Imam Ahmad terpaksa selalu berada
di rumah, tidak keluar darinya, bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri sholat
berjama’ah. Dan itu dijalani kurang lebih lima tahun, yakni sampai Al-Watsiq wafat
tahun 232.

Sesudah Al-Watsiq wafat, Al-Mutawakkil menggantikannya. Selama dua tahun masa
pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan AlQuran masih dilangsungkan. Tetapi,
pada tahun 234, khalifah menghentikan ujian tersebut. Khalifah mengumumkan ke
seluruh wilayah tentang larangan atas pendapat kemakhlukan AlQuran
dan ancaman
hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Khalifah juga memerintahkan
kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat Allah. Maka,
bergembiralah orang-orang. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya tersebut
dan melupakan kejelekan-kejelekannya.

Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat
bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang
penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu jusrtu ketika sebagian ulama
berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhannya, maka madzhab Ahlussunnah pun
dinisbatkan kepadanya karena beliau sabar dan teguh dalam membela kebenaran. Ali
bin Al Madiniy berkata dalam menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah
mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada ketiganya. Yaitu, Abu
Bakar Ash-Shiddiq pada yaumur Riddah
(saat banyak orang murtad pada awal-awal
pemerintahannya) dan Ahmad bin Hambal pada Yaumul Mihnah.

Sakit dan Wafatnya

Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya,
orang-orang pun berdatangan ingin menjenguk. Mereka berdesak-desakan di depan
pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan
pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat, tanggal 12 Rabiul Awwal 241H, beliau
menghadap Rabbnya. Sekitar 700-800 ribu orang mengantar jenazah beliau (bahkan ada
yang mengatakan sejuta). Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka
yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka
kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid’ah,
bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami”

Diringkas dari majalah Fatawa, vol 05/I/Muharram-Safar 1424H-2003 M

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *