Jangan Biarkan Puasa Anda Sia-Sia (bag.2)


“Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga.” (Hr. Ahmad)

Pada bagian kedua ini, syaikh Abdul Aziz As Sadhan memaparkan koreksi beliau mengenai:

  1. mengakhirkan adzan maghrib
  2. mengakhirkan berbuka
  3. tidak bersiwak setelah matahari condong ke barat
  4. merasa tertekan karena di pagi hari dalam kondisi junub

Selamat membaca…

7. Mengakhirkan Adzan Maghrib

Kesalahan lain yang berkaitan dengan muadzin pada bulan Ramadhan, ada sebagian orang tidak mengumandangkan adzan kecuali setelah kegelapan merata, dan tidak cukup hanya dengan terbenamnya matahari saja. Mereka beranggapan bahwa itu merupakan sikap lebih berhati-hati dalam ibadah. Perbuatan ini termasuk menyelisihi sunnah. Sebab, menurut sunnah, hendaknya adzan dikumandangkan ketika matahari terbenam dengan sempurna, sedangkan acuan yang lain tidak dianggap. Allah Ta’ala berfirman:

“…kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…” (Al-Baqarah: 187)

Allah Ta’ala menjadikan batasan puasa dengan masuknya waktu malam. Sedangkan, masuknya waktu malam ditandai dengan terbenamnya matahari, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

“Apabila waktu malam telah tiba dari sini dan waktu siang telah pergi dari sini dan matahari telah terbenam, maka orang yang puasa (boleh) berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullahu, setelah menyebutkan ayat di atas, mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa bila matahari telah terbenam, berarti telah masuk waktu malam dan orang yang puasa dibolehkan berbuka.”1

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang terbenamnya matahari, apakah dibolehkan bagi orang yang puasa berbuka dengan sekedar melihat terbenamnya matahari? Syaikhul Islam rahimahullah menjawab, “Bila bulatan matahari seluruhnya telah terbenam, maka orang yang berpuasa boleh berbuka. Sodangkan, warna merah menyala yang masih terlihat di ufuk itu tidak perlu dianggap. Bila bulatan matahari seluruhnya telah sirna, maka akan tampak warna hitam di ufuk timur, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

“Apabila waktu malam telah tiba dari sini dan waktu siang telah pergi dari sini dan matahari telah terbenam, maka orang yang puasa (boleh) berbuka”2

8. Mengakhirkan Berbuka

Termasuk kesalahan yang banyak dilakukan kaum muslimin adalah mengakhirkan buka puasa. Di sini ada dua kesalahan;

pertama, hal itu pada umumnya akan menyebabkan terlambatnya pelaksanaan shalat Maghrib. Bahkan, terkadang bisa menyebabkan habisnya waktu shalat Maghrib secara keseluruhan. Ini tentu saja musibah yang lebih besar dan lebih pahit. Karena itu, seorang muslim harus segera buka puasa agar bisa shalat berjamaah bersama kaum muslimin.

Kedua, mengakhirkan buka puasa berarti menyelisihi sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyerupai kaum yahudi dan nasrani. Hal ini dijelaskan oleh dalil-dalil berikut. Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:

“Umatku senantiasa di atas sunnahku selama tidak menunggu munculnya bintang-bintang untuk berbuka puasa.” (HR. Ibnu Hibban).

Diriwayatkan dari Abu Darda’, ia berkata,

“Ada tiga akhlak kenabian; menyegerakan berbuka puasa; mengakhirkan makan sahur; dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dalam shalat.” (HR. Thabarani, hadits mauquf).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

‘Agama (Islam) ini akan senantiasa unggul selama pemeluknya menyegerakan berbuka, karena yahudi dan nasrani mengakhirkan (berbuka).” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan, “Ini merupakan dalil, bahwa kemenangan agama Islam yang didapatkan dengan menyegerakan berbuka puasa itu karena menyelisihi kaum yahudi dan nasrani. Bila menyelisihi mereka merupakan sebab kemenangan agama, sedangkan Allah mengutus para rasul agar agama yang hak dimenangkan-Nya terhadap semua agama, maka menyelisihi orang-orang yahudi dan nasrani termasuk tujuan terbesar diutusnya rasul.”

9. Tidak Bersiwak Setelah Matahari Condong ke Barat

Kesalahan lain yang berkaitan dengan puasa adalah keengganan sebagian umat Islam bersiwak setelah matahari condong ke Barat. Mereka juga mengingkari orang yang bersiwak pada waktu tersebut. Di antara argumen pengingkaran mereka bahwa bersiwak itu menghilangkan bau mulut, padahal di sisi Allah, bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi dari minyak kasturi, sebagaimana yang tertera dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, bau mulut orang puasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada minyak kasturi.” (HR. Bukhari dan Muslim) 3

Imam Asy-Syaukani mengisyaratkan hal ini dalam kitab Nailul Author ketika menyebutkan perbedaan pendapat terkait bau mulut orang puasa, apakah itu terjadi di dunia atau di akhirat. Asy-Syaukani mengatakan, “Perbedaan pendapat ini berakibat munculnya pendapat yang memakruhkan bersiwak bagi orang berpuasa.” 4

Dalil lain yang mereka jadikan argumen adalah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Ath- Thabrani, dan Daruquthni dari Ali radhiyallahu anhu secara mauquf serta dari Khabbab radhiyallahu anhu secara marfu’ bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Bila kalian puasa, maka bersiwaklah pada pagi hari dan jangan bersiwak pada sore hari. Karena sesungguhnya, tidaklah kedua bibir orang puasa kering pada sore hari, kecuali akan menjadi cahaya antara kedua matanya pada hari kiamat.”

Ini adalah hadits dha’if marfu’, dan mauquf. Hadits ini dinyatakan lemah oleh Al-‘Iraqi, Ibnu Hajar, dan Asy-Syaukani5

Orang yang enggan bersiwak saat matahari telah condong ke Barat atau sore hari, berdalil dengan riwayat yang berasal dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang berkata,

“kamu boleh bersiwah sampai waktu ashar. Bila kamu telah shalat (ashar), maka tinggalkan siwak itu. Sesungguhnya, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, ‘… bau mulut orang puasa itu lebih wangi di sisi Allah … (HR. Daruquthni) 6

Asy Syaukani rahimahullahu berkata, “Perkataan Abu Hurairah -selain konteksnya tidak menunjukkan sebuah permintaan- tidak bisa dijadikan hujjah karena di dalam sanadnya terdapat Umar bin Qais. Ia tidak dipakai haditsnya. Pendapat yang benar, bersiwak itu disunnahkan bagi orang yang puasa, baik pada pagi maupun sore hari. Inilah pendapat jumhur ulama.” 7Dalil yang menunjukkan bolehnya bersiwak adalah keumuman sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

“Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali akan shalat (Muttafaqun ‘Alaih)

Imam Bukhari mengatakan, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak memberikan kekhususan bagi orang yang puasa dari yang lain.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:

“Siwak itu pembersih mulut dan diridhai Rabb.”8

Dalil yang menguatkan pendapat di atas adalah riwayat yang dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dengan sanad yang dinyatakan bagus oleh Ibnu Hajar.9

Disebutkan dari Abdurrahman bin Ghanmin, ia berkata, “Aku bertanya kepada Mu’adz bin Jabal,’ Apakah aku mesti bersiwak saat aku puasa?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ ‘Kapan waktunya?’ tanyaku. ‘Sesukamu, pagi atau sore,’ jawabnya. Aku bertanya lagi, ‘Orang-orang enggan bersiwak di sore hari. Mereka berkata bahwa Rasulullah bersabda, ‘Bau mulut orang puasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada minyak kasturi?’ Ia menjawab, ‘Subhanallah, beliau telah memerintahkan mereka bersiwak, sedang beliau mengetahui bahwa orang puasa itu pasti bau mulutnya tidak sedap, meski ia bersiwak. Orang yang menyuruh orang lain agar dengan sengaja membuat bau mulutnya tidak sedap, maka tidak ada kebaikannya sama sekali, bahkan yang ada adalah keburukan. Kecuali, bila orang tersebut sedang diuji dengan mendapat musibah dan tidak mendapatkan jalan keluarnya sama sekali’.Aku bertanya lagi, ‘Apakah debu akibat berjuang di jalan Allah akan dibalas dengan pahala, yaitu bagi orang yang dipaksa keluar ke sana dan tidak mendapatkan jalan keluar darinya?’ Ia menjawab, ‘Benar. Adapun, orang yang sengaja melemparkan dirinya ke dalam kebinasaan, maka ia tidak mendapatkan pahala’. 10

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, “Orang yang puasa tidak batal puasanya hanya dengan bersiwak. Bahkan, siwak adalah sunnah baginya dan bagi selainnya di setiap waktu, baik pagi atau sore hari.” 11

10. Merasa Tertekan Karena di Pagi Hari Dalam Kondis Junub

Kesalahan lain adalah perasaan sangat tertekan yang dialami oleh sebagian umat Islam bila bangun pagi dalam kondisi junub. Kepada mereka, perlu disampaikan, “Tidak ada dosa atas kalian Sempurnakanlah puasa kalian. Sebab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mendapatkan waktu Subuh dalam keadaan junub. Lalu, beliau mandi dan puasa.”

Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya tentang orang yang puasa yang mimpi basah pada siang hari bulan Ramadhan; apakah puasanya batal atau tidak dan apakah ia wajib segera mandi. Ia menjawab, “Mimpi basah tidak membatalkan puasa. Sebab, itu bukan atas kemauan orang puasa. Hendaknya ia mandi janabat bila ia mendapati air mani pada dirinya. Seandainya ia mimpi basah setelah shalat Subuh dan mengakhirkan mandi sampai waktu Zhuhur, maka hal tersebut tidaklah mengapa.

Pun demikian, seandainya ia mengauli istrinya pada malam hari dan baru mandi setelah terbit fajar, maka tidak ada dosa atasnya. Ada riwayat shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa pada waktu Subuh beliau pernah junub karena bersetubuh, lalu beliau mandi dan berpuasa.

Wanita yang sedang haid atau nifas juga sama, seandainya keduanya telah suci pada malam hari dan baru mandi setelah terbit fajar, maka tidak ada dosa atas mereka, dan puasanya tetap sah. Akan tetapi, keduanya tidak boleh mengakhirkan mandi atau shalat sampai terbitnya matahari. Mereka harus segera mandi sebelum terbit matahari, sehingga mereka bisa menunaikan shalat tepat waktunya. Seorang lelaki harus segera mandi janabat sebelum waktu shalat Subuh, sehingga ia bisa melaksanakan shalat dengan berjamaah. Wallahu waliyyut taufiq.” 12

Terkait masalah ini, Syaikh Muhammad bin Utsaimin mengatakan, “Bila fajar telah terbit, maka puasa orang yang sedang junub tetap sah dan tidak ada masalah dengannya. Dalil mengenai ini ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Adapun dalil dari Al-Quran adalah firman Allah Ta’ala:

“Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. ..” (Al-Baqarah : 187)

Allah menghalalkan bersetubuh pada malam hari sampai fajar tampak jelas. Ini berkonsekuensi bahwa orang itu tidak mandi kecuali setelah terbit fajar. Sebab, bila perbuatan ini dibolehkan untuknya sampai terbit fajar, maka ia akan tetap dalam kondisinya sampai akhir malam yang singkat itu, dan pasti mandinya akan dilakukan setelah terbit fajar.

Adapun dalil dari As-Sunnah adalah riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa beliau pernah dalam keadaan junub pada waktu pagi dan beliau pun berpuasa. Akan tetapi, yang utama bagi orang yang junub hendaklah segera mandi agar ia dalam kondisi suci. Bila itu tidak mungkin, maka hendaklah ia berwudhu, karena wudhu dapat meringankan janabat.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang orang yang tidur dalam kondisi junub. Beliau menjawab,

“Bila ia telah wudhu, silakan tidur.” (HR. Bukhari).

Ini merupakan dalil bahwa wudhu bisa meringankan janabat, juga sebagai dalil bahwa seseorang itu semestinya tidur dalam keadaan suci. Bisa jadi suci secara sempurna yaitu dengan mandi atau suci yang meringankan yaitu dengan berwudhu.13


disalin dari buku ‘Jangan Biarkan Puasa Anda Sia-Sia! terjemahan dari: Mukhalafat Ramadhan, Syaikh Abdul Aziz As Sadhan, Penerbit Qiblatuna – Solo, hal 41-64


Catatan kaki:

  1. Mukhtashar Qiyamil Lail, hal. 58 [↩]
  2. Majmu’ul Fatawa, XXV : 215-216 [↩]
  3. Potongan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Al-Fath, IV : 103 [↩]
  4. Nailul Authar, IV : 236 [↩]
  5. Silsilatudh Dha’ifah, I : 394; dan Naitul Authar, I : 129 untuk lebih jelasnya tentang masalah bau mulut ini silahkan membaca buku ini [↩]
  6. Potongan hadits yang dikeluarkan Bukhari & Muslim dari A Hurairah m,Al-Fath, IV : 103 [↩]
  7. Nailul Authar, I: 129 [↩]
  8. Shahih Al-Jami’ush Shaghir, III : 234 [↩]
  9. Dalam kitab At-Talkhishul Habir [↩]
  10. Syaikh Al-Albani mencantumkannya dalam As-Silsilatudh Dha’ifah, 1: 395.Ia berkata, “Sanadnya mengindikasikan baik [↩]
  11. Risalah Fushul fish Shiyam wat Tarawih waz Zakah, hal. 15 [↩]
  12. Kitabud Dakwah, hal. 121 [↩]
  13. Fatawa Nur’alad Darb, hal. 53 [↩]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *