Rasanya Seperti Mimpi | Jilbab Online


Dulu sebelum menikah saya kerap kali dijuluki wanita pekerja keras yang selalu mengupdate diri dengan segala informasi dan wawasan ilmu ekonomi yang ada. Yah kalau dalam bahasa kerennya wanita eksekutif yang hard workerlah… Julukan itu terdengar begitu memukau. Sementera saya merasa biasa saja, karena bagi saya tidak ada yang perlu dibanggakan. Hidup ini adalah hadiah terindah yang telah diberikan yang MahaKuasa kepada kita, jadi kita tak pantas menyia-nyiakan setiap detik yang Dia berikan. Inilah prinsip hidup yang membuat tidak ada yang istimewa dari kehidupan saya. “that’s the way it is”, kalimat yang selalu ada di kepala saya.

Sumber ilustrasi

Hari-hari saya jalani dengan semangat tinggi untuk terus memamksimalkan potensi yang ada. Di tempat kerja, saya termasuk staf marketing yang diandalkan, mengingat target-target yang sudah saya capai. Dalam pertemanan pun saya sering disebut teman yang setia karena akan selalu berusaha untuk membantu atau at least setia mendengarkan curhat para sohib dekat. Setiap ada waktu luang, biasanya saya isi dengan kegiatan yang menurut saya bermanfaat walau hanya dengan ke pengajian. ke tempat fitness, ke salon atau bahkan hang out bareng teman-teman kost sekadar untuk refreshing.

Kadang ada suka, kadang ada duka. Semuanya silih berganti mampir dalam kehidupan. Namun semuanya bergulir dalam lika-liku koridor perjalanan kehidupan yang menurut saya masih sesuai dengan aturan agama. Karena alhamdulillah, selain sudah berhijab sejak kuliah, saya juga tetap mengikuti pengajian rutin untuk menjaga agar batin ini tetap basah dengan siraman nur Illahi. Selain itu saya juga masih punya teman-teman yang shalih dan shalihah yang selalu mengingatkan atau bahkan menegur bila ada tindakan saya yang dianggap tidak pada jalurnya. Dan itu sangat sering terjadi. Karena sangat percaya dengan mereka, saya tidak pernah tersinggung ataupun sakit hati. Walau tidak jarang terjadi perdebatan sengit antara kami dalam menyelesaikan setiap masalah. Mmhhh… I really miss u guys….

Semua berjalan sesuai alurnya sampai hingga pada suatu malam, ada sebuah telepon yang bikin saya tidak dapat memejamkan mata sepanjang malam itu.

“Kak, tadi siang ada yang mengkhitbahku. Gimana yah?”, tanya adik saya.

Alhamdulillah, orang shalih bukan, ma’isyahnya gimana? Keluarganya…” belum sempat kalimat panjangku selesai, dia sudah memotong dengan suara yang teramat sendu “Kakak sendiri kapan? Kan sebaiknya kakak dulu, kakak yang sudah sangat wajib bukan? Aku gak mau melangkahi….”

Saya terhenyak beberapa menit dan kemudian saya coba menenangkan diri. Kita gak pernah tahu kapan jodoh kita akan datang kan? Mungkin sekarang jodohmu yang datang duluan. Ya jalani aja. “When the time comes, you’ll know it.” Itulah kalimat seorang dosen ketika kuliah dulu ketika kami membahas tentang pernikahan. Kalimat yang sangat menghibur dan selalu nangkring di pikiran seakan mengingatkan akan kuasa Ilahi untuk menentukan masalah ini.

“Tapi aku gak mau melangkahi kakak, lagian aku yakin ibu gak bakal ngijinintau sendiri kan ibu gimana.” sahutnya. Dalam budaya Melayu anak perempuan pertama memang harus nikah dahulu. Tidak boleh dilangkahi oleh adiknya, karena mereka beranggapan jika itu terjadi anak perempuan mereka akan menjadi perawan tua alias susah atau bahkan tidak dapat jodoh. Inilah yang saya sangat tidak setuju. Jodoh adalah rencana Allah bukan? Tapi kami tentunya sangat tidak ingin melukai perasaan orangtua kami yang sanat mengikuti paham itu. Usia 27 tahun memang bukan usia remaja lagi, bahkan sudah masuk usia dewasa yang wajib nikah. Saya sangat mengerti itu, namun mungkin karena kebetulah saya itu tinggal di kota besar dan memiliki pekerjaan serta cita-cita sukses sebagai wanita karir, semua terasa biasa saja, dan bukan suatu yang time limit untuk cepat menikah.

“Ya sudah sabar saja. Biar kakak yang bicara dengan ibu tentang ini ya.” “Sebenarnya apa lagi sih yang kakak cari? Kerja sudah, uang sangat cukup, pendidikan apalagi. Aku sering lihat ibu nangis sambil emgangin foto kakak/ Dia sangat ingin melihat kakak menikah, maafin aku ya kak sudah ngomong kayak gini,” sahutnya dengan suara mulai parau.

Suasana jadi hening. Tak satu kata pun dapat melintas dari mulut ini. Saya terdiam. Bukankah kamu ingin membahagiakan orangtuamu? Batinku bertanya. “Maafin kakak ya,” hanya itu kata yang keluar dari rongga mulut ini dan saya langsung menutup telepon. Dada ini terasa sesak. Hati ini perih mendengar betapa sedihnya hati ibu. Jadi apa yang kau cari nak? Sampai kapan kamu akan seperti ini? Gak pingin nikah kayak yang lain? Pertanyaan seperti ini memang sempat ditujukan pada saya. Namun saya hanya menganggapnya sebagai pertanyaan wajar seorang ibu tanpa menganggapnya serius.

Tapi sekarang setelah tahu itu sangat menyakitkan dirinya, semua terasa berat untuk dijawab.

Jujur saja, sampai saat itu saya memang belum berkeinginan untuk menikah mengingat ada beberapa target yang ingin saya capai, walau sempat pernah ada lintasan kasih sayang yang mampir di hati ini beberapa waktu lalu dari seorang pria shalih yang coba mendekati. Tak berapa lama kepala terasa ingin pecah dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit saya jawab. Hhh… sebenarnya apa yang kamu cari? Aktualisasi dirikah Sampai kapan? Padahal kamu sudah sangat paham akan ilmu agama yang mengatur tentang melengkapi setengah din ini. Tentang bagaimana meruginya seorang yang bila meninggal dalam kondisi melajang.

Ya Allah…. bagaimana ini? Apakah puncak kesuksesan itu yang dinamakan aktualisasi tertinggi? Tapi apakah itu yang saya cari? Bagaimana jika malam ini Kau cabut nyawaku dan aku belum bisa membahagiakan ibu dan juga melengkapi din-Mu? Tetes demi tetes air mata tak terbendung lagi. Terus berderai sampai akhir sujudku dalam shalat malam itu. “Maknailah ‘aktualisasi’ itu tidak hanya untuk duniawi, tapi juga kehidupan yang paling kekal nanti.” Tausiah dari seorang sahabat ini laksana angin yang meniup keegoisan hati ini yang sudah terjebak dalam target duniawi.

Sadar bentuk aktualisasi diri tidak saja dalam bentuk kesuksesan duniawi tapi juga akhirat, membuka mata saya untuk benar-benar ikhtiar memperbaiki diri. Yah, saya memang butuh pendamping yang bisa mengimami saya untuk bisa menjadi hamba yang benar-benar shalihah. Sebulan setelah berusaha membuka diri dan coba minta dicarikan oleh sahabat-sahabat, ada beberapa pria shalih yang mencoba mendekati dan ingin ta’aruf.

Saya berusaha terus istikharah di sepanjang malam hingga akhirnya hati ini punya kecenderungan ke salah satu dari mereka. Kami terus menemui ibu dan dia langsung mengkhitbah. Selang beberapa bulan kami menikah. Yah, menikah. Semua prosesnya sangat cepat, hingga saya kadang merasa seperti mimpi. Bahkan saya juga bingung, mampu melepas pekerjaan yang tadinya saya anggap bentuk aktualisasi diri saya, demi ikut suami yang memang tinggal di luar negeri. Demi menjadi anak dan istri shalihah. Senyum bahagia ibu menyertai kepergiaan kami.

Alhamdulillah setelah dikaruniai dua orang putra yang aktif dan cakep, hidup ini terasa lebih lengkap lagi. Terima kasih ya Allah telah kau persingkat hari-hariku yang kurang bermakna kemarin, telah Kau datangkan seorang kekasih hati yang shalih, telah Kau berikah kesempatan untuk membahagiakan hati ibu, telah Kau berikan makna aktualisasi sebenernya dalam diri ini. Jadikanlah anak-anak kami menjadi anak-anak shalih yang akan menjadi penegak agama-Mu kelak. Lingkarilah kami selalu dalam tali kemesraan, keharmonisan dan kebahagiaan keluarga sakinah… *amiin.. ya Rabball’alamin…

Jeddah, 1 Agustus 2008

Kisah ini ditulis ulang dari Majalah Nikah Vol.7, No 08, 15 November-15 Desember 2008/ Dzulqo’dah-Dzulhijjah 1429

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *