Ihtimam (perhatian) Rasulullah Terhadap Perbaikan Hati

Sumber ilustrasi

Hati, adalah anggota tubuh terpenting bagi seorang insan.

Tubuh manusia akan hidup bila hatinya hidup. Dan sebaliknya, bila hati mati, maka tubuh pun akan menemui kebinasaannya meski nyawa masih berada di kandung badan. Mengingat begitu pentingnya posisi hati, banyak nash syar’i yang memperbincangkannya dan mengingat pentingnya keselamatan hati dan bahaya kerusakannya.

Perhatian terhadap pemeliharaan hati, tidak lepas dari labilnya kondisi hati dan banyaknya fitnah yang menyerangnya, sehingga bisa menyebabkan hati menderita sakit, bahkan menemui kematiannya. Rasulullah, telah mengingatkan ancaman fitnah terhadap hati dalam sabdanya:

Fitnah-fitnah itu akan dihadapkan pada hati seseorang bagaikan hamparan (tikar), sedikit demi sedikit, hati manapun yang menelannya, akan ditorehkan padanya noktah hitam, sedangkan hati manapun yang menolaknya, akan ditorehkan padanya noktah putih, hingga terbagilah hati itu menjadi dua macam, (yang pertama) hati yang putih bagaikan benda bening, ia tidak akan terpengaruh fitnah apapun selama masih ada langit dan bumi, sedangkan hati yang lain, ia berwarna hitam berdebu bagaikan bejana terjungkir, ia tidak mengetahui kebaikan, tidak pula mengingkari kemungkaran, kecuali hanya memperturutkan hawa nafsunya.” (HR. Muslim: 1/128)

Perhatian besar Rasulullah terhadap persoalan ishlahul qulub (perbaikan hati) dan keteguhannya di atas al-haq juga di antaranya tampak pada doa-doa beliau. Beliau banyak mengajarkan doa kepada seorang Muslim untuk selalu memohon pada Allah Dzat Yang menguasai hati dan membolak-balikkannya agar Dia berkenan menyinarinya dengan cahaya hidayah, meneguhkannya di atas shirathal mustaqim dan memeliharanya dari segala fitnah yang mengancam, seperti terangkum di bawah ini.

Ya Allah, adakan cahaya dalam hatiku. (Muttafaq’alaih)

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak khusyu. (Muttafaq’alaih)

Ya Allah, bersihkanlah hatiku dari dosa-dosa sebagaimana dibersihkannya baju yang berwarna putih dari kotoran. (Muttafaq’alaih)

Ya Allah, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku, sucikanlah sesungguhnya Engkau sebaik-baik yang mensucikannya Engkau Pelindung dan Pemeliharanya. (HR. Muslim no. 2722)

Menjadi kewajiban setiap muslim untuk memperhatikan kesucian dan kebersihan hatinya beserta perbaikan lahiriahnya dan perhatiannya untuk menyempurnakan amal-amal shaleh. Sebab, tidak ada artinya memberikan perhatian pada perbaikan lahiriah sementara batiniahnya rusak. Ketika seorang Muslim memperbaiki hatinya dengan amalan-amalan yang baik, ikhlas, jujur, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya seluruh anggota tubuhnya akan lurus dan lahiriahnya akan menjadi baik.

Rasulullah bersabda:

Barang siapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah dan menolak karena Allah, sungguh telah sempurna keimanan(nya). (HR. Abu Dawud. Lihat ash-Sahihah no.380)

Allah telah mengabarkan bahwa pada hari Kiamat hanya qalbun salim (hati bersih) yang bermanfaat bagi manusia. Alah berfirman:

(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (QS. asy-Syuara/26:88-89)

Yang dimaksud dengan qalbun salim ialah hati yang bersih dan bebas dari seluruh perkara yang buruk. Itulah hati yang di dalamnya hanya berisi cinta kepada Allah dan kekhawatiran dari segala hal yang menjauhkan dariNya.

Hati tidak pernah lepas dari berpikir, entah memikirkan kemaslahatan akhiratnya, kemaslahatan dunia dan penghidupannya atau terjerat atau was-was dan bisikan-bisikan yang batil lagi merusak. Orang yang berusaha memperbaiki hatinya, maka tidak bisa tidak, ia mesti menyibukkan pikirannya pada obyek yang mendatangkan kemaslahatan dan keberuntungan yang hakiki.

Ada banyak hal yang harus direnungi dan dihayati guna mencapai hati yang salim, bersih dan terjaga, hingga hubungannya sangat dekat dengan Allah, keyakinannya bertambah dan keimanannya kian sempurna.

Imam Ibnul Qayyim menyebutkan banyak hal. Di antaranya, meyakini kehinaan dunia dan kefanaannya yang akan mendorong seorang hamba untuk lebih konsentrasi menggapai kehidupan akhiratnya. Ini akan membawanya mengarungi alam akhirat yang merupakan kehidupan yang abadi di mana para penghuninya tidak akan pernah pergi dari sana.

Kemudian meyakini akan keberadaan Neraka dan apinya yang menyala-nyala, serta kedalaman dasarnya dan betapa panasnya api neraka. Di sana, ada pemandangan yang menakutkan, siksaan pedih, yang menimpa penghuninya, rantai-rantai meliliti di leher-leher mereka, penyesalan mereka yang sudah tidak berguna sama sekali. Hal ini akan mendorong seorang hamba untuk berhenti dari maksiat dan syariatnya, karena jiwanya dilanda rasa takut dan kekhawatiran dari siksa Allah. Semakin dalam penghayatan ini tertanam oada serang hamba, maka kian jauh darinya dari maksiat dan pelanggaran syariat.

Selanjutnya, keyakinan adanya Surga dengan segala kenikmatan yang Allah dan mendengarnya firman-firman-Nya tanpa perantara, maka perjalanan hati seseorang menuju Rabbnya akan semakin kencang, ia tidak menoleh ke kanan maupun ke kiri.

Perkara-perkara di atas bila diperhatikan betul oleh seorang hamba di kehidupan dunianya ini dan ia selalu mengajak hatinya memikirkannya, akan menjadi faktor terpenting dalam membersihkan hati dan mensucikannya dari sifat-sifat tercela dan kehendak-kehendak yang buruk. Dan akan membebaskannya dari ketergantungan kepada selain Allah sehingga mendorongnya untuk beribadah, cinta, takut, dan inabah serta merasa butuh kepada Allah dan selalu berusaha menggapai keridhaan-Nya.

Maka, sudah sewajibnya seorang Muslim memperhatikan keselamatan hatinya ketika fitnah-fitnah bermunculan, bid’ah bertebaran, dan kebodohan terhadap agama Allah kian parah. Allah berfirman:

dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. (QS. al-Hajj/22:78).

Diadaptasi dari makalah Ishlahul Qulub karya Syaikh DR. Abdur Razzaq al-Badr dalam himpunan makalah yang berjudul al-Fawaid al-Mantsurah, dengan beberapa tambahan

Oleh Abu Minhal, LC. Dari Majalah As-Sunnah No. 06/Thn XVI, DzulQa’dah 1433 H, Oktober 2012 M

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *