Kitab Tauhid (Bag 5): Hakikat Tauhid

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membawakan firman Allah (yang artinya), “Dan Rabbmu telah menetapkan bahwa janganlah kalian menyembah kecuali hanya kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah berbuat baik…” (Al-Israa’ : 23). Ayat ini menunjukkan tentang wajibnya mengesakan Allah dalam beribadah, dan inilah yang dimaksud dengan tauhid (lihat Al-Jadid fi Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 24)

Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Hal ini menafsirkan tauhid, yaitu beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Inilah tauhid. Adapun beribadah kepada Allah namun tidak meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, maka ini tidak dinamakan sebagai tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya, karena itulah mereka menjadi kaum musyrik. Sehingga bukanlah yang terpenting orang beribadah kepada Allah itu saja. Akan tetapi ia harus beribadah kepada Allah dan juga meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak demikian, maka dia tidaklah menjadi orang yang benar-benar menghamba kepada Allah dan belum menjadi muwahhid/orang bertauhid.” (lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, 1/38)

Diantara faidah utama dari ayat tersebut ialah menunjukkan bahwa tauhid adalah kewajiban yang paling wajib dan hak Allah yang paling agung atas setiap hamba. Di dalamnya juga terkandung pelajaran, bahwa tauhid tidaklah tegak kecuali dengan nafi/menolak dan istbat/menetapkan; yaitu menolak sesembahan selain Allah dan menetapkan ibadah untuk Allah semata. Sehingga kandungan ayat di atas serupa dengan kandungan kalimat laa ilaha illallah. Selain itu, ayat ini juga menunjukkan keagungan hak kedua orang tua dan wajibnya berbuat baik kepada mereka. Sebagaimana ayat ini menunjukkan tidak bolehnya durhaka kepada kedua orang tua (lihat Al-Mulakhash fi Syarhi Kitabit Tauhid oleh Syaikh Al-Fauzan, hal. 14)

Adapun makna kata qadha/menetapkan yang ada di dalam ayat tersebut telah ditafsirkan oleh para ulama bahwa maknanya adalah memerintahkan dan mewasiatkan. Mujahid menafsirkan qadha dengan ‘mewasiatkan’, sedangkan Ibnu Abbas menafsirkan qadha dengan ‘memerintahkan’ (lihat Fat-hul Majid oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan, hal. 20)

Kesimpulan :

  • Tauhid adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan sesembahan selain-Nya
  • Tauhid adalah kewajiban terbesar dan hak Allah yang paling agung atas setiap hamba. Oleh sebab itu manusia wajib bertauhid kepada Allah, dan kewajiban ini menempati posisi tertinggi di atas selutuh kewajiban yang ada
  • Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua dan larangan durhaka kepada mereka
  • Orang musyrik bukanlah orang yang tidak beribadah kepada Allah, akan tetapi orang musyrik adalah orang yang beribadah kepada Allah namun ia juga beirbadah kepada selain-Nya. Adapun muwahhid/orang yang bertauhid adalah yang beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya
  • Keagungan hak kedua orang tua, dimana Allah perintahkan berbuat baik kepada mereka setelah perintah untuk mentauhidkan-Nya

Disalin dari tulisan Ustadz Ari Wahyudi yang berisi faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Website: www.al-mubarok.com

– See more at: http://jilbab.or.id/archives/2679-kitab-tauhid-bag-4-tujuan-dan-hikmah-diutusnya-para-rasul/#more-2679

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *