Saudariku, Apa yang Menghalangimu Berhijab ? (V)

Perjalanan Yang Jauh

rn

Nurah, saudara perempuanku nampak pucat dan kurus sekali. Tetapi seperti rnbiasa, ia masih membaca Al-Qur’anul Karim.
Tika ingin menemuinya, pergilah ke rnmushallanya. Di sana engkau akan mendapatinya sedang ruku’, sujud dan rnmenengadahkan ke langit. Itulah yang dilakukannya setiap pagi, sore dan di rntengah malam hari. Ia tidak pernah jenuh.

rn

Berbeda dengannya, aku selalu asyik membaca majalah-majalah seni, tenggelam rndengan buku-buku cerita dan hampir tak pernah beranjak dari video. Bahkan, aku rnsudah identik dengan benda yang satu ini. Setiap video diputar pasti di situ ada rnaku. Karena ‘kesibukanku’ ini, banyak kewajiban yang tak bisa kuselesaikan rnbahkan, aku suka meninggalkan shalat.
Setelah tiga jam berturut-turut rnmenonton video di tengah malam, aku dikagetkan oleh suara adzan yang rnberkumandang dari masjid dekat rumahku.
Sekonyong-konyong malas menggelayuti rnsemua persendianku, maka aku pun segera menghampiri tempat tidur.
Nurah rnmemanggilku dari mushallanya.

rn

Dengan berat sekali, aku menyeret kaki menghampirinya.
”Ada apa Nurah?,” rntanyaku.
”Jangan tidur sebelum shalat Shubuh!”, ia mengingatkan. ”Ah. Shubuh rnkan masih satu jam lagi. Yang baru saja kan adzan pertamal”
Begitulah, ia rnselalu penuh perhatian padaku. Sering memberiku nasihat, sampai akhimya ia rnterbaring sakit. ia tergeletak lemah di tempat tidur.

rn

”Hanah!,” panggilnya lagi suatu ketika.
Aku tak mampu menolaknya. Suara rnitu begitu jujur dan polos.
”Ada apa saudariku?”, tanyaku rnpelan.
”Duduklah!”
Aku menurut dan duduk di sisinya. Hening…
Sejenak rnkemudian Nurah melantunkan ayat suci Al-Qur’an dengan suaranya yang rnmerdu.
”Tiapjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari Kiamat rnsajalah disempumnkan pahalamu.” (Al Imran: 185)
Diam sebentar, lalu ia rnbertanya: ”Apakah kamu tidak percaya adanya kematian?”
”Tentu saja rnpercaya!”
”Apakah kamu tidak percaya bahwa amalmu kelak akan dihisab, baik rnyang besar maupun yang kecil?”
”Percaya. Tetapi bukankah Allah Maha Pengampun rndan Maha Penyayang, sementara aku masih muda, umurku masih panjang!”
”Ukhti, rnapakah kamu tidak takut mati yang datangnya tiba-tiba? Lihatlah Hindun, dia rnlebih muda darimu, tetapi meninggal karena sebuah kecelakaan. Lihat pula si rnfulanah…Kematian tidak mengenal umur. Umur bukan ukuran bagi kematian rnseseorang.
Aku menjawabnya penuh ketakutan. Suasana tengah malam yang gelap rnmencekam, semakin menambah rasa takutku.
”Aku takut dengan gelap, bagaimana rnengkau menakut-nakutiku lagi dengan kematian ? Di mana aku akan tidur nanti ?” rnJiwa asliku yang amat penakut betul-betul tampak.
Kucoba menenangkan diri aku rnbenusaha tegar dengan mengalihkan pembicaraan pada tema yang menyenangkan, rnrekreasi.
”Oh ya, kukira ukhti setuju pada liburan ini kita pergi rekreasi rnbersama?”, pancingku.
”’Tidak, karena barangkali tahun ini aku akan pergi rnjauh, ke tempat yang jauh… mungkin… umur ada di tangan Allah, Hanah”, ia rnlalu terisak.
Suara itu bergetar, aku ikut hanyut dalam rnkesedihan.
Sekejap, langsung terlintas dalam benakku tentang sakitnya yang rnganas. Para dokter, secara rahasia telah mengabarkan hal itu kepada ayah. rnMenurut analisa medis, para dker sudah tak sanggup, dan itu berarti dekatnya rnkematian.

rn

Tetapi, siapa yang mengabarkan ini semua padanya?, atau ia memang merasa rnsudah datang waktunya?,
”Mengapa ternenung? Apa yang engkau lamunkan?”, Nurah rnmembuyarkan lamunanku.
”Apa kau mengira, hal ini kukatakan karena aku sedang rnsakit? Tidak. Bahkan boleh jadi umurku lebih panjang dari umur orang-orang rnsehat.
Dan kamu, sampai kapan akan terus hidup? Mungkin 20 tahun lagi, 40 rntahun atau…
Lalu apa setelah itu? Kita tidak berbeda. Kita semua pasti akan rnpergi, entah ke Surga atau ke Neraka. Apakah engkau belum mendengar rnayat:
”Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dimasukkan ke dalam Surga maka rnsungguh ia telah beruntung” ( Ali Imran: 185)
”Sampai besok pagi,” ia rnmenutup nasihatnya.

rn

Aku bergegas meninggalkannya menuju kamar.
Nasihatnya masih rntergiang-ngiang di gendang telingaku, ”Semoga Allah memberimu petunjuk, jangan rnlupa shalat!”
Pagi hari…Jam dinding menunjukkan angka delapan rnpagi.Terdengar pintu kamarku diketuk dari luar. ”Pada jam ini biasanya aku belum rnmau bangun” pikirku. Tetapi di luar terdengar suara gaduh, orang banyak rnterisak.
”Ya Rabbi, apa yang tejadi?”
”Mungkin Nurah…?, ”firasatku rnberbicara. Dan benar, Nurah pingsan, ayah segera melarikannya ke rumah rnsakit.

rn

Tidak ada rekreasi tahun ini. Kami semua harus menunggui Nurah yang sedang rnsakit.
Lama sekali menunggu kabar dari rumah sakit dengan harap-harap rncemas.
Tepat pukul satu siang, telepon di rumah kami berdering. Ibu segera rnmengangkatnya. Suara ayah di seberang, ia menelpon dari rumah sakit. ”Kalian rnbisa pergi ke rumah sakit sekarang!,” demikian pesan ayah singkat.

rn

Kata ibu, tampak sekali ayah begitu panik, nada suaranya berbeda dari rnbiasanya.
”Mana sopir…?” kami semua terburu-buru: Kami menyuruh sopir rnmenjalankan mobil dengan cepat. Tapi ah, jalan yang biasanya terasa dekat bila rnaku menikmatinya dalam pejalanan liburan, kini terasa amat panj ang, panjang dan rnlama sekali. Jalanan macet yang biasanya kunanti-nantikan sehingga aku bisa rnmenengok ke kanan-kiri, cuci mata, kini terasa menyebalkan. Di sampingku, ibu rnberdo’a untuk keselamatan Nurah.
”Dia anak shalihah. Ia tidak pernah rnmenyia-nyia kan waktunya. Ia begitu rajin beribadah”, ibu bergumam rnsendirian.

rn

Kami turun di depan pintu rumah sakit. Kami segera masuk ruangan. Para pasien rnpada tergeletak lunglai. Di sana sini terdengar lirih suara rintihan. Ada yang rnbaru saja masuk karena kecelakaan mobil, ada yang matanya buta, ada yang rnmengerang keras. Pemandangan yang membuat bulu kudukku merinding.
Kami naik rntangga eskalator menuju lantai atas. Nurah berada di ruang perawatan intensif. rnDi depan pintu terpampang papan peringatan: ”Tidak boleh masuk lebih dari satu rnorang!” Kami terperangah. Tak lama kemudian, seorang perawat datang menemui, rnkami. Perawat memberitahu kalau kini kondisi Nurah mulai membaik, setelah rnbeberapa saat sebelumnya tak sadarkan diri.

rn

Di tengah kerumunan para dokter yang merawat, dari sebuah lubang keciljendela rnyang ada di pintu, aku melihat kedua bola mata Nurah sedang memandangiku. Ibu rnyang berdiri di sampingnya tak kuat menahan air matanya. Waktu besuknya habis, rnibu segera keluar dari ruang perawatan intensif.
Kini tiba giliranku masuk. rnDokter memperingatkan agar aku tidak banyak mengajaknya bicara. Aku diberi waktu rndua menit.
”Assalamu ‘alaikum!, bagaimana keadaanmu Nurah?, tadi malam, rnengkau baik-baik saja. Apa yang terjadi denganmu?”, aku menghujaninya dengan rnpertanyaan.
”Alhamdulillah, aku sekarang baik-baik saja, jawabnya dengan rnberusaha tersenyum.
”Tapi, mengapa tanganmu dingin sekali, kenapa?” aku rnmenyelidik.
Aku duduk di pinggir dipan. Lalu kucoba meraba betisnya, tapi ia rnsegera menjauhkannya dari jangkauanku.
”Ma’af, kalau aku mengganggumu!”, aku rntertunduk.
”Tidak apa-apa. Aku hanya ingat firman Allah Ta’ala:
”Dan rnbertaut betis(kiri) dengan betis(kanan), kepada Tuhanmullah pada hari itu kami rndihalau”. (Al-Qiyamah: 29-30)
Nurah melantunkan ayat suci Alquran.
Aku rnmenguatkan diri. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak menangis dihadapan rnNurah, aku membisu.
” Hanah, berdoalah untukku. Mungkin sebentar lagi aku rnakan menghadap. Mungkin aku segera mengawali hari pertama kehidupanku rndiakhirat…Perjalananku amat jauh tapi bekalku sedikit sekali”.
Pertahananku rnruntuh. Air mataku tumpah. Aku menangis sejadi-jadinya. Ayah mengkhawatirkan rnkeadaanku. Sebab mereka tak pernah melihatku menangis seperti itu.
Bersamaan rndengan tenggelamnya matahari pada hari itu. Nurah meninggal dunia….

rn

Suasana begitu cepat berubah. Seperti baru beberapa menit aku rnbebincang-bincang dengannya. Kini ia telah meninggalkan kami buat rnselama-selamanya. Dan, ia tak akan pernah bertemu lagi dengan kami. Tak akan rnpernah pulang lagi. Tidak akan bersama-sama lagi. Oh Nurah…
Suasana dirumah rnkami digelayuti duka yang amat dalam. Sunyi mencekam. Lalu pecah oleh tangisan rnyang mengharu biru. Sanak kerabat dan tetangga berdatangan melawat. Aku tidak rnbisa membedakan lagi, siapa-siapa yang datang, tidak pula apa yang mereka rnpercakapan.
Aku tenggelam dengan diriku sendiri. Ya Allah, bagaimana dengan rndiriku? Apa yang bakal terjadi pada diriku? Aku tak kuasa lagi, meski sekedar rnmenangis. Aku ingin memberinya penghormatan terakhir. Aku ingin menghantarkan rnsalam terakhir. Aku ingin mencium keningnya.

rn

Kini, tak ada sesuatu yang kuingat selain satu hal. Aku ingat firman Allah rnyang dibacakannya kepadaku menjelang kematiannya.
”Dan bertaut betis (kiri) rndengan betis (kanan)”. Aku kini benar-benar paham bahwa,”Kepada Tuhanmullah pada rnhari itu kamu dihalau”
”Aku tidak tahu, ternyata malam itu, adalah malam rnterakhir aku menjumpainya di mushallanya.
Malam ini, aku sendirian di rnmushalla almarhumah. terbayang kembali saudara kembarku, Nurah yang demikian rnbaik kepadaku. Dialah yang senantiasa menghibur kesedihanku, ikut memahami dn rnmerasakan kegalauanku, saudari yang selalu mendo’akanku agar aku mendapat rnhidayah Allah, saudari yang senantiasa mengalirkan air mata pada tiap-tiap rnpertengahan malam, yang selalu menasihatiku tentang mati, hari perhitungan….ya rnAllah!

rn

Malam ini adalah malam pertama bagi Nurah dikuburnya. Ya Allah, rahmatilah rndia, terangilah kuburnya.
Ya Allah, ini mushaf Nurah, …ini sajadahnya…dan rnini..ini gaun merah muda yang pernah dikatakannya padaku, bakal dijadikan rnkenangan manis pernikahannya.
Aku menangisi hari-hariku yang berlalu dengan rnsia-sia. Aku menangis terus-menerus, tak bisa berhenti. Aku berdo’a kepada Allah rnsemoga Dia merahmatiku dan menerima taubatku.
Aku mendo’akan Nurah agar rnmendapat keteguhan dan kesenangan di kuburnya, sebagaimana ia begitu sering dan rnsuka mendo’akanku.
Tiba-tiba aku tersentak dengan pikiranku sendiri. ”Apa rnyang terjadi jika yang meninggal adalah aku? Bagaimana kesudahanku?”
Aku tak rnberani mencari jawabannya, ketakutanku memuncak. Aku menangis, menangis lebih rnkeras lagi. Allahu Akbar, Allnhu Akbar…Adzan fajar berkumandang. Tetapi, duhai rnalangkah merdunya suara panggilan itu kali ini.

rn

Aku merasakan kedamaian dan ketentraman yang mendalam. Aku jawab ucapan rnmuadzin, lalu segera kuhamparkan lipatan sajadah, selanjutnya aku shalat Shubuh. rnAku shalat seperti keadaan orang yang hendak berpisah selama-lamanya. Shalat rnyang pemah kusaksikan terakhir kali dari saudari kembarku Nurah.
Jika tiba rnwaktu pagi, aku tak menunggu waktu sore dan jika tiba waktu sore, aku tidak rnmenunggu waktu pagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *