Anak Hebat Berakhlak Mulia | Jilbab Online

Semua Orang tua pasti menginginkan
anaknya menjadi orang yang hebat, penuh pecaya diri, sukses, bisa menggapai
cita-cita dalam hidupnya. Tentunya tak bisa instant menjadikan anak seperti ini.
Perlu penanganan yang sabar, pendidikan terus menerus, dan keseriusan dari orang
tua untuk mewujudkan hal itu, sejak kecil sampai ia besar dan mandiri. Tentunya
mustahil berhasil kalau kita selaku orang tua hanya berpangku tangan, menunggu
sampai saat berhasil itu tiba, datang begitu saja. Orang tua justru dituntut
secara aktif membantu anaknya mencapai apa yang menjadi cita-citanya dan
cita-cita mereka.

Bukan Pekerjaan
Ringan

Mendidik anak agar kelak bisa
menjadi orang hebat bukanlah pekerjaan ringan dan mudah. Sekolah atau tempat
pendidikan formal tak bisa 100% menjadi tumpuan untuk mencetak si kecil menjadi
orang hebat sebagaimana yang kita harapkan. Banyak hal yang mempengaruhi
keberhasilan si kecil. Perkembangan fisik, kejiwaan, serta lingkungan menjadi
faktor penentu keberhasilan, dalam studi, berusaha, dan menggapai cita-citanya.
Tak mungkin ia menentukan sendiri arah dan tujuan tanpa bimbingan kita, karena
kita adalah orang tuanya, yang paling dekat dengannya, paling tahu perkembangan
dan kejiwaannya.

Bagaimanapun, orang tua adalah yang
paling banyak berinteraksi dengan si kecil. Merah putih, kuning hitam kehidupan
si kecil tergantung kita dalam membuatnya. Oleh karena itu, salah kalau
menginginkan dia hebat sementara kita tidak berusaha, hanya berpangku tangan,
menggantungkan pada orang lain atau tempat pendidikan saja.

 

Banyak yang
Keliru

Masyarakat kita ini banyak keliru
dalam mendeskripsikan orang hebat. Umumnya, yang dikatakan orang hebat itu kalau
punya pangkat atau derajat tinggi, materi banyak, dengan gelar yang berjajar.
Intinya, berkutat pada perkara dunia. Padahal tidak seperti itu. Dalam Islam
kalau masalah kehebatan, dunia bukanlah apa-apa dibanding dengan akhirat. Agama
ini memandang bahwa yang namanya orang hebat adalah orang yang berilmu agama
tinggi -seperti seorang ulama-, orang yang gagah berani di medan laga, dan orang
yang berani mengorbankan jiwa raga demi tegaknya agama Allah di muka numi
ini.

 Itulah dia sebenar-benarnya orang hebat.
Bisa kita ambil ibrah dari orang-orang shalih jaman dulu, merekalah contoh dari
orang-orang hebat yang banyak dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya.

Bukan maksud menyepelekan orang
yang hebat dalam keduniaan, namun Islam mencela mereka yang hebat dunia namun
bodoh dalam hal akhirat, dan yang begini banyak terjadi. Padahal, agama ini
telah memperingatkan dengan jelas akan kerugian orang orang

 yang pintar dalam hal dunia tapi bodoh
dalam hal akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja)
dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah
lalai.”
(Ar-Ruum: 7)

Dengan demikian, sebagai orang tua
perlu mendidik anaknya agar memahami agama terlebih dahulu, karena itulah ilmu
yang paling utama. Bila anak mampu memahami agama, juga mampu mengamalkannya
maka ia akan pula belajar ilmu dunia untuk memenuhi kebutuhan dunianya, untuk
membantu saudaranya, agar ia tak sampai menggantungkan diri pada orang lain.
Orang tua yang berkewajiban mengajarkan anak hukum-hukum agama, baca tulis
Al-Qur’an, akidah, manhaj, dan yang lainnya. Perlu diajarkan pula ilmu dunia,
agar nanti mampu mencari nafkah sendiri dan bisa menjadi anak
mandiri.

 

Tanamkan Pada
Dia

Semua anak berpotensi menjadi orang
hebat, asal kita bisa mengarahkannya dengan benar. Walaupun kemampuan setiap
anak berbeda-beda namun pada dasarnya setiap anak punya kemampuan lebih
dibanding dengan yang lain, yang mungkin berbeda satu dengan yang lainnya. Tugas
orang tua adalah menyalurkan kemampuan dan bakat anak ke arah yang benar dengan
bimbingan syariat agama. InsyaAllah,
anak kita menjadi anak-anak yang shalih, kuat, dan hebat.

Bagaimana caranya agar bisa
mengarahkan si kecil untuk menjadi orang seperti itu? Tanamkan nilai-nilai
akhlak berikut ini, insyaAlah bisa
jadi penunjuk bagi dia untuk berkembang ke arah
sana, yaitu anak hebat berakhlak
mulia.

 

1. Tanamkan
Kepercayaan

Percaya pada orang lain adalah hal
yang paling mendasar bagi seorang anak agar nantinya ia dapat membina hubungan
dengan orang lain, membentuk rasa percaya dirinya, dan maju dalam setiap tahap
proses perkembangannya. Oleh karena itu, hal itu harus ditanamkan sejak anak
lahir. Dimulai dengan rasa percaya pada orang tua, seperti rasa aman kalau
berinteraksi dengan kita, segera disusui ketika ia lapar, menggantikan popoknya
saat kotor, memeluknya saat ia membutuhkan, dan lain sebagainya. Seiring dengan
itu pula, ia mulai belajar untuk menuhmbuhkan rasa percaya pada orang lain dan
dirinya sendiri. Setiap anak akan menunjukkan perilaku yang berlainan agar
mereka diperhatikan orang tuanya. Semakin anak mengerti bahwa kita memahaminya,
semakin tinggi tingkat kepercayaannya pada kita.

 

2.Tanamkan
Kesabaran

Kita dapat menanamkan kesabaran
padanya, dengan cara memberi contoh melakukan sesuatu yang butuh kesabaran,
karena anak memiliki perilaku untuk meniru orang-orang di sekitarnya. Ia
melihat, kemudian ia melakukannya.

Membanting pintu saat kita
menutupnya sepulang bekerja karena kepenatan dan kemacetan lalu lintas,
merupakan contoh yang sangat buruk bagi seorang anak.  Tetapi membantu anak membersihkan susu
yang ia tumpahkan ke lantai memberikan penglihatan yang lain bagi dirinya. Untuk
melatih kesabaran anak, ajarilah dia untuk menunggu bukan dalam hitungan waktu,
tapi dengan ukuran suatu keadaan. Jika anak meminta kita untuk mengambilkan
sesuatu yang tidak dapat ia jangkau padahal kita sedang mengerjakan sesuatu,
memasak misalnya, katakana padanya bahwa kita akan mengambilkan apa yang ia
inginkan jika Anda telah selesai memasak, daripada kita mengatakan, “Iya, tunggu
lima menit lagi”. Melalui hal ini,
anak akan menilai sendiri berapa lama ia akan mendapatkan keinginannya dengan
menunggu dan memperhatikan kapan kita selesai memasak.

 

3. Tanamkan Rasa Tanggung
Jawab

Saat anak menjatuhkan botol susunya
ke lantai dan melihat kita mengambilkan botol susu itu untuknya, ia akan
mengulanginya lagi dengan sengaja. Hal ini menandakan bahwa ia mulai mengenal
hubungan sebab akibat dan belajar bahwa ada konsekuensi dari apa yang
dilakukannya. Ini adalah saat dimana kita dapat mulai melatih rasa tanggung
jawab anak dengan memintanya melakukan hal-hal yang mudah, seperti mengembalikan
mainan pada tempatnya. Agar anak juga tahu mengapa ia melakukan hal itu, kita
harus memberitahukan maksud dari sesuatu yang kita ingin ia lakukan. Selaras
dengan pertumbuhan dan perkembangannya, anak membutuhkan waktu untuk memahami
kemudian melakukan sesuatu yang kita minta dalam rangka mendidiknya untuk
mempunyai rasa tanggung jawa. Oleh karena itu, orang tua tidak dapat memaksakan
atau sekaligus menanamkan begitu banyak tanggung jawab pada seorang
anak.

 

4. Tanamkan Sikap
Kemandirian

Kemandirian akan membantu anak
untuk mempunyai rasa percaya diri dalam menginginkan dan memutuskan sesuatu bagi
dirinya. Kita dapat menumbuhkan kemandirian pada anak dengan cara membiarkannya
melakukan sesuatu yang dapat dilakukan oleh anak seusianya. Saat anak berusia 1
tahun, ajari dia makan sendiri menggunakan sendok, satu tahun berikutnya ajari
dia berpakaian sendiri. Buatlah menjadi lebih mudah sesuatu yang dapat ia
lakukan sendiri, seperti membelikannya sepatu tanpa tali pengikat, atau kaos
yang agak longgar sehingga ia dapat mengenakannya sendiri. Namun saat anak
membutuhkan bantuan kita, berikan kepastian bahwa kita akan membantunya.
Angkatlah ia supaya dapat mengambil mainan yang diinginkannya, saat ia tidak
dapat menjangkaunya. Sesuai dengan pertambahan usianya, buatlah situasi di mana
ia harus memilih satu dari beberapa pilihan. Kunci keberhasilan untuk
menumbuhkan kemandirian pada anak adalah fleksibilitas, menyesuaikan perilaku
saat kita berinteraksi dengan sang anak. Arahkan mereka hanya pada awalnya,
kemudian biarkan mereka melakukan dan memutuskan sendiri sesuatu sesuai dengan
proses perkembangannya menjadi dewasa. Jika orang tua mengintervensi terlalu
banyak, anak akan sulit menumbuhkan rasa percaya diri pada kemampuan sendiri dan
ia tak dapat belajar untuk bertahan saat ia menghadapi kesulitan.

 

5. Tanamkan Rasa
Empati

Seorang anak terkadang menunjukkan
bentuk primitif dari sikap empati, misalnya dengan menangis saat ibunya sedang
menagis. Sebenarnya seorang anak belum mengerti akan perasaan orang lain sebelum
usianya 3-6 tahun. Seorang anak yang berumur 2 tahun tidak akan tahu bahwa
dengan menggigit lengan kakaknya berarti ia telah menyakitinya, karena pada saat
itu ia sendiri tidak merasakan sakit. Untuk membantu anak memiliki rasa empati,
orang tua harus memberitahukan pada anak saat ia melakukan sesuatu yang dapat
menyakiti, membuat sedih atau marah orang lain. Katakan padanya, bagaimana jika
hal yang sama dilakukan pada dirinya. Katakanlah hal ini berulang-ulang, karena
seorang anak umumnya mempunyai sifat egosentris, ia tidak akan memikirkan
sesuatu yang tidak langsung ia rasakan. Pada dasarnya orang tua harus memberi
contoh dengan melakukan segala hal yang ingin dilakukan anak-anak terhadap orang
lain, maksudnya adalah dengan memberikan perhatian pada setiap kebutuhan mereka
serta menghargai perasaan mereka, karena sikap empati adalah kunci untuk menuju
keberhasilan seseorang dalam bersosialisasi.

 

Sumber: Majalah Nikah, Vol.2, No.12
Maret 2004.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *