Akhlak Mukminah Terhadap Lelaki Bukan Mahrom

Sumber ilustrasi

Oleh Ust. Abu Bakar

Jika Seorang muslimah dituntut untuk berakhlak yang baik kepada sanak kerabat dekat atau mahromnya, maka ia juga diharuskan agar berhias dengan akhlak-akhlak Islami terhadap lelaki ajnabi (laki-laki yang bukan mahromnya).

Hal itu karena fitnah dan kerusakan yang terjadi di masyarakat dewasa ini, kebanyakan karena dikesampingkannya adab-adab pergaulan islami antara laki-laki dan perempuan.

Di antara akhlak Islami yang mulia yang harus dimiliki seorang muslimah itu antara lain:

1. Lebih memilih untuk tinggal di rumah jika tidak ada keperluan yang mendesak untuk keluar rumah.

Alloh Ta’ala berfirman:

Dan hendaklah kamu tetap di rumahkmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu…[1]

Diriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Jahiliyyah terdahulu adalah antara Nuh dan Idris. Jaraknya adalah seribu tahun. Mereka adalah keturunan Adam. Salah satunya tinggal di daratan dan yang lainnya tinggal di pegunungan. Laki-laki yang tinggal di pegunungan umumnya tampan dan wanitanya buruk rupa, sedangkan wanita yang tinggal di dataran cantik dan laki-lakinya buruk lupa. Iblis mendatangi dua orang laki-laki di daratan dan bekerja padanya. ia menjadi pembantu laki-laki tersebut dan membuat suatu alat seperti serulingnya para penggembala kemudian meniupnya dengan suara yang tidak pernah didengar orang seindah suara tersebut. Kemudian hal itu sampai kepada orang-orang sekitarnya dan beramai-ramai menyimaknya. Lalu mereka menjadikannya perayaan sekali dalam setahun. Maka para wanita menampakkan perhiasannya [2] buat para lelaki dan para lelaki pun berhias untuk para wanita. Beberapa lelaki dari gunung menyerbu ketika perayaan mereka. Tatkala mereka melihat para wanita yang mempesona, mereka kembali memberitahukan teman-temannya. Maka para lelaki turun gunung dan merebaklah perzinaan di antara mereka.” [3]

Ada pelajaran berharga dari kisah di atas, bagaimana Iblis mengerahkan segala cara untuk menghancurkan umat Islam. Cukuplah bagi kita bagaimana peranan alat komunikasi yang tidak ditopang akhlak Islami yang baik telah menghancurkan generasi muda kita, seperti internet dan HP.

2. Tidak menundukkan atau melembutkan suara kepada laki-laki ajnabi.

Alloh Ta’Ala berfirman:

Jika kamu bertakwan, janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya… [4]

Berkata al-Baghowi dalam tafsirnya (VI/348): “Wanita dianjurkan untuk keras dalam berkata tatkala ia berbicara dengan ajnabi untuk menutup kemungkinan adanya keinginan (syahwat)”

3. Menghindari ikhtilath (campur baur) dengan ajnabi, baik di tempat belajar, medan kerja atau yang lainnya.

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwasanya Rosululloh bersabda:

Hati-hatilah kalian dari mengunjungi wanita” [5]

Syakikh Abdulloh Ibnu Jarulloh berkata: “Ikhtilath adalah bercampurnya atau bertemunya antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom di suatu tempat yang memungkinkan mereka untuk berhubungan, baik dengan memandang, berisyarat atau berbicara. Berduaannya laki-laki dengan perempuan ajnabi dalam keadaan bagaimanapun termasuk ikhtilath” [6]

4. Menundukkan pandangan

Alloh Ta’Ala berfirman:

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya…” [7]

Banyak ulama yang berpendapat bahwa pada asalnya wanita tidak boleh melihat ajnabi, baik dengan syahwat maupun tidak. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah bahwa suatu ketika ia dan Maimunah pernah bersama Rasululloh. Ia (Ummu Salamah) berkata:

Tatkala kami bersama Rasululloh, datanglah Ibnu Ummi Maktum. Dan itu terjadi setelah kami diperintahkan berhijab. Maka Rosululloh berkata: “Berhijablah darinya!” Maka aku berkata: “Wahai Rasululloh, bukankah ia buta, tidak melihat dan tidak mengenal kami?’ Maka Nabi berkata: “Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian berdua bisa melihatnya?” [8]

Ibnul Jauzi berkata: “Sesungguhnya penglihatanmu, wahai saudaraku, adalah sebuah nikmat. Maka janganlah mendurhakai Alloh dengan nikmat tersebut.”

Ibnu Qoyyim al-Jauziyah menjelaskan sepuluh manfaat menundukkan pandangan: (1) membebaskan hati dari kesengsaraan, (2) mewariskan cahaya dan kemuliaan bagi hati, (3) menguatkan firasat yang benar, (4) membuka jalan-jalan ilmu dan pintunya, (5) membuat hati menjadi kuat, teguh dan jantan, (6) mewariskan kegembiraan pada hati yang lebih besar daripada nikmatnya memandang, (7) membebaskan hati dari penjara syahwat, (8) membendung pintu menuju Jahannam, (9) menguatkan, meneguhkan dan menambah akal, dan (10) melepaskan hati dari dimabuk syahwat dan kelalaian. [9]

5. Malu Kepada Alloh Ta’ala dengan sebenar-benarnya

Yang demikian itu dengan selalu muroqobah (merasa selalu diawasi) dan takut kepada Allah Azza wa jalla di setiap keadaan dan tempat. Dari Abdulloh bin Mas’ud bahwa Rosulullah bersabda:

Malulah kalian kepada Alloh dengan sebenarnya“. Kami berkata, ‘Wahai Rasululloh, kami benar-benar malu walhamdulillah‘. Beliau berkata, “Bukan begitu, tetapi malu kepada Allah yang sebenarnya adalah engkau menjaga kepala dan apa yang ada di sana (mata, lidah, telinga), engkau menjaga perut serta anggota badan yang ada di sekitarnya, dan ingatlah kematian dan kehancuran. Barangsiapa menginginkan akhirat maka ia meninggalkan perhiasan dunia. Siapa saja yang melakukan hal itu, maka ia telah malu kepada Alloh dengan sebenar-benarnya” [10]

Malu bagi wanita adalah suatu kodrat yang tidak akan lepas dari wanita yang beriman, khususnya dalam bergaul dengan laki-laki ajnabi. Hilangnya rasa malu adalah pertanda telah terkikisnya iman dan awal hancurnya peradaban manusia. Perhatikanlah bagaimana keadaan wanita-wanita beriman terdahulu:

Kemudian salah seorang dari kedua wanita itu datang kepada Musa berjalan kemalu-maluan. [11]

6. Tidak berjabat tangan dengan laki-laki ajnabi.

Dari ‘Aisyah, ia berkata:

Demi Alloh, Rasululloh tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun (yang bukan mahromnya). Beliau membaiat para wanita dengan perkataan” [12]

Al-Imam an-Nawawi berkata: “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) berkata: ‘Segala sesuatu yang haram dilihat, maka lebih haram lagi bila disentuh’.” [13]

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-lali yang menjabat tangan wanita dengan bajunya (sebagai lapis), beliau berkata: “Tetap tidak boleh!” [14]

Maka, cukuplah ancaman keras dari Nabi:

Ditusuknya kepala seorang lelaki dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak hala baginya (bukan mahromnya)” [15]

7. Menjaga muru’ah (kesopanan) dan kesucian diri

Akhlak yang satu ini sangat diperlukan bagi muslimah dewasa ini agar tidak terseret pada lingkaran setan dan rayuan Iblis, baik dari kalangan jin maupun manusia. Di antara bentuk penjagaan terhadap kesucian diri antara lain seperti menghindari komunikasi langsung dengan lelaki ajnabi, baik lewat SMS, telepon, internet, maupun surat. Jika ada keperluan mendesak, hendaknya melalui mahromnya atau orang lain yang dianggap tsiqoh (bisa dipercaya). Alloh Ta’ala berfirman:

Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” [16]

Demikian pula menjaga kesopanan dan adab-adab syar’i dalam hal berpakaian, terutama di luar rumah.

Walhamdulillahi robbil ‘alamin.

Catatan kaki:

[1] QS al-Ahzab [33] : 33

[2] Yang dimaksud perhiasan di sini adalah segala sesuatu yang tidak boleh dinampakkan selain kepada mahromnya, seperti dada, wajah, leher, bentuk tubuh, kaki, betis, paha, rambut, pergelangan tangan dan yang lainnya.

[3] Tafsir ath-Thobari 22/4

[4] QS al-Ahzab [33] : 32

[5] HR. al-Bukhori 523

[6] Majalah al-‘Usroh, Afatut Ta’ilmil Ikhtilath edisi no. 70 Muharrom 1420 H hlmn. 69

[7] QS. an-Nur [24] : 31

[8] HR. Abu Dawud 4112, at-Tirmidzi 2778 dan ia berkata: hadits hasan shohih

[9] Bisyaratusy Syabab, Abul Hasanat ad-Dimasyqi hlm.21-26

[10] HR. at-Tirmidzi 2646, Shohih at-Targhib wa at-Tarhib 1724

[11] QS. al-Qoshosh [28] : 25

[12] HR. al-Bukhori 5288 dan Muslim 1866

[13] Al-Adzkar hlm 227

[14] Al-Adab asy-Syar’iyyah 2/257

[15] HR. ath-Thobroni dan al-Baihaqi. Berkata al-Mundziri: Para perawi ath-Thobroni tsiqoh dan shohih (3/66)

[16] QS. al-Ahzab [33] : 53

dari majalah al-Mawaddah Edisi 8 Tahun ke-3
Robi’ul Awwal 1431H/ Maret 2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *