Sighat Taklik Talak,…Mestikah di Ucapkan?

Petugas KUA : “Apakah sighat taklik talak dibacakan?”

Mempelai laki-laki :”Tidak usah pak!”

Mempelai perempuan :”Dibacakan saja pak!”

Petugas KUA :”Loh kok nggak kompak?, kalau walinya bagaimana?”

Wali :”Emmmm..terserah Bapak saja atau…??!!”.

Akhirnya mempelai laki-laki dengan sangat terpaksa membaca sighat taklik talak yang menurut pemahaman dia bukan dari ajaran Islam. Kisah di atas sungguh-sungguh terjadi, diceritakan oleh seorang teman yang hadir dalam akad nikah teman satu kostnya.

Pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan sakral dalam pandangan agama Islam, bermakna ibadah kepada Allah Azza wa Jalla, mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam . Dalam melangsungkan pernikahan, peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku mesti diindahkan. Terlebih lagi peraturan agama Islam.

Ketentuan umum mengenai syarat sah pernikahan menurut Islam adalah adanya calon mempelai pria dan wanita, adanya dua orang saksi, wali, dan ijab kabul. Hal tersebut yang termasuk rukun, mau tidak mau harus ada ketika perkawinan dilangsungkan. Adapun mahar (maskawin) bukan syarat sahnya perkawinan. Pemberian mahar merupakan suatu kewajiban seorang laki-laki kepada istrinya. Tidak termasuk rukun nikah.

Ketentuan pernikahan bagi warga negara Indonesia (termasuk Umat Islam di Indonesia) harus mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksananya, yakni PP No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 tahun 1974 temtamh Perkawinan. Selain UU Perkawinan dan PP No.9 tahun 1975 tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang digunakan sebagai acuan untuk umat Islam di Indonesia dalam masalah perkawinan, waris, dan wakaf.

 


Sahnya Perkawinan Menurut Negara

Dalam Pasal UU Perkawinan dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan tersebut. (Lihat Pasal 2 ayat (1) berikut penjelasan umum dan penjelasan pasal tersebut).

Di samping itu, tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. (Lihat Pasal 2 ayat (2) beserta penjelasan umum UU Perkawinan)


Melaksanakan UU Perkawinan Tersebut?

Loh…. bukannya Agama Islam tidak menyebutkan aturan-aturan tersebut? UU Perkawinan tersebut buatan manusia, padahal kita kan tidak boleh berhukum dengan hukum selain dari Allah Azza wa Jalla.

Agama Islam tidak mengatur lalu lintas, misalnya lampu bang-jo, lampu merah tanda berhenti, lampu hijau artinya jalan; namun apakah dengan tidak diaturnya hal tersebut menunjukkan bolehnya kita melanggar hal tersebut? Berhenti ketika lampu merah bukan suatu kemaksiatan, jalan ketika lampu hijau demikian juga. Hal tersebut bukanlah kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karenanya mesti ditaati. Kalau kita melanggar berarti kita melanggar aturan agama, bukankah kita mesti taat kepada pemerintah? Tentunya ketaatan dalam hal yang baik, bukan dalam kemaksiatan. Kalau kita melanggar bang-jo, ada beberapa kemungkinan yang dapat diperkirakan, bisa jadi kekacauan, kecelakaan, atau …. Nggak percaya? Lampu merah jalan terus, padahal dari arah lain sedang jalan…kemungkinan besar kecelakaan. Ketika lampu hijau, ada truk yang berhenti di depan sendiri, tidak mau jalan… kekacauan akan terjadi!!

Demikian juga dengan peraturan-peraturan yang ada di negara kita, tidak terkecuali di bidang perkawinan. Selama peraturan tersebut bukan dalam rangka bermaksiat kepada Allah, peraturan tersebut mesti kita indahkan. Allahu A’lam.


Taklik Talak

Yang dimaksud taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. (KHI Pasal 1 huruf e) Sighat taklik ini terdapat pada buku nikah bagian belakang. Pada umumnya, setelah ijab kabul selesai, mempelai laki-laki diminta untuk membacanya.

Sebagian dari masyarakat kita, beranggapan bahwa hal yang demikian (sighat taklik talak) tidak ada tuntunannya dalam Islam. Tidak ada sunnahnya dalam Islam. Hal tersebut dianggap sebagai bid’ah (sesuatu yang baru, yang diada-adakan, tidak ada asalnya dalam Islam, menyerupai syariat, dan dianggap beribadah), dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan ada di neraka. Hal ini membuat mereka enggan (baca:tidak mau) untuk mengucapkannya. Kalaupun mengucapkan, itu karena terpaksa.


Ribut karena Sighat Taklik Talak

Terkadang, mempelai yang mempunyai keyakinan seperti di atas, ribut-ribut dengan Pegawai Pencatat Perkawinan (biasanya dari KUA setempat) , contoh ringannya fragmen kasus di awal tulisan ini. Di satu sisi, yang bersangkutan ingin menjalankan upacara pernikahan sesuai dengan tuntunan Islam, tidak terkotori oleh maksiat dan bid’ah; di sisi lainnya, dia mesti mengikuti aturan negara.

Mempelai yang bersangkutan berpendirian perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya; rukun dan syarat nikah dan terpenuhi, so .. nikahnya sudah sah. Adapun aturan negara itu…. ia berpendapat hal itu merupakan suatu kemaksiatan kepada Allah (karena sighat taklik talak tidak ada tuntunannya dalam Islam / bid’ah). Oleh karena itu, ia tidak harus melakukan sighat taklik talak tersebut.

Pegawai Pencatat Perkawinan ataupun pihak lainnya yang berkepentingan (misal: keluarga mempelai putri) bersikeras agar mempelai laki-laki membaca sighat taklik talak. Mereka tidak sepakat terhadap mempelai laki-laki; aturan negara mesti ditegakkan.

Sangat disayangkan apabila ribut-ribut tersebut terjadi di hadapan tamu undangan pada hari H. Di satu pihak mengharuskan membaca, pihak lainnya bersikeras menolak. Selain mengganggu kekhidmatan acara, juga terlihat janggal bagi tamu undangan.


Taklik Talak dalam KHI

Penulis tidak akan membahas sighat taklik talak dalam sudut pandang ajaran islam. Hal ini bukan kompetensi penulis. Di sini penulis ingin membawakan kedudukan taklik talak dalam peraturan hukum positif yang berlaku di wilayah Republik Indonesia.

Menurut KHI, perjanjian taklik talak bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan. Hal ini kita dapat kita baca di dalam pasal 46 ayat (3), “Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.”

Ayat tersebut jelas menyebutkan bahwa perjanjian taklik talak bukanlah suatu keharusan bagi setiap muslim.


Fatwa MUI

Sidang komisi Fatwa MUI, yang berlangsumg diruang rapat MUI, Masjid Istiqlal Jakarta, pada 23 Rabi’ul Akhir 1417 H/ 7 September 1996, berpendapat bahwa materi yang tercantum dalam sighat taklik talak pada dasarnya telah dipenuhi dan tercantum dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. KHI pasal 46 ayat (3) mengatur bahwa perjanjian taklik talak bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan.

Di dalam fatwa yang ditandatangani oleh Ketua MUI: K.H. Hasan Basri, Sekretaris MUI: Drs.H. A. Nazri Adlani, dan Ketua Komisi Fatwa Prof.K.H. Ibrahim Hosen, LML ini, disebutkan bahwa “Pengucapan sighat ta’liq talaq, yang menurut sejarahnya untuk melindungi hak-hak wanita ( isteri ) yang ketika itu belum ada peraturan perundang-undangan tentang hal tersebut, sekarang ini pengucapan sighat ta’liq talaq tidak diperlukan lagi. Untuk pembinaan ke arah pembentukan keluarga bahagia sudah di bentuk BP4 dari tingkat pusat sampai dengan tingkat kecamatan.


Tak Perlu Ribut

Sudah jelas bagi kita kedudukan sighat talik talak ini di dalam peraturan negara. Menurut KHI hal tersebut bukanlah suatu keharusan (tidak wajib). Komisi fatwa MUI berpendapat bahwa sighat taklik talak sudah tidak diperlukan lagi.

Oleh karena itu, bagi kaum muslimin yang tidak mau membaca sighat taklik talak, tak perlu risau. Tidak ada yang mengharuskan untuk membaca hal tersebut seusai akad nikah.

Bagi yang ingin melakukan akad nikah, agar kisah di atas tidak terulang lagi; beberapa hari sebelum akad nikah, bicaralah baik-baik dengan pihak keluarga putri, sampaikan bahwa kita tidak ingin membaca hal tersebut. Jelaskan alasan kita sejelas dan sebijaksana mungkin. Kemudian, bicarakan hal ini baik-baik dengan Pegawai Pencatat Perkawinan (biasanya dari KUA). Tak perlu ngotot-ngotan, tak perlu rame dan ribut-ribut. Bicaralah dengan santun dan kepada dingin. Ingat, Anda memiliki kartu As. Apabila yang bersangkutan bersikeras agar kita membacanya, beritahukan dengan sopan aturan negara mengenai hal ini. Sampaikan pasal 46 ayat (3) KHI dan fatwa dari komisi fatwa MUI di atas.

Harapan penulis, Pegawai Pencatat Perkawinan langsung mengiyakan keinginan kita tanpa perlu ‘sedikit panas’; sebagaimana yang dialami penulis ketika mencoba berbicara dengan pihak KUA. Saat itu pihak KUA yang datang ke rumah calon istri, penulis memberitahu beliau mengenai pemisahan mempelai dan tamu undangan ketika akad dan masalah pembacaan sighat taklik talak. Penulis sudah mempersiapkan KHI, sengaja dibawa dari Jogja untuk hal ini, … ternyata beliaunya langsung mengiyakan, “ Iya, saya sudah paham. Saya sudah biasa bertugas di group seperti ini.” (Tanpa bertanya, beliau menyebut ‘group’ ; mungkin karena beliau melihat penampilan calon istri penulis yang bercadar)

Semoga kisah di pembukaan tulisan ini tidak terulang untuk kesekian kalinya. Semoga bermanfaat.

Sumber:


UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

PP No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

Fatwa MUI tentang Pengucapan Sighat Ta’liq Talaq Pada Waktu Upacara Akad Nikah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *