Pentingnya Musyawarah dalam Keluarga (bagian 2)

PENTINGNYA MUSYAWARAH DALAM KELUARGA (BAGIAN 2)
Penulis: Ust Aunur Rofiq bin Ghufron

Speech bubbles

Sumber ilustrasi

Yang Perlu Dimusyawarahkan

Meski musyawarah memiliki keutamaan yang banyak, namun tidak semua perkara di dalam rumah tangga harus dimusyawarahkan. Misalnya adalah yang berkenaan dengan keyakinan, ibadah, hukum halal dan haram, penentuan banyak sedikitnya bagian harta warisan dan perkara dien lainnya. Mengapa? Sebab semua itu sudah ditentukan oleh Allah dan tidak boleh ditawar, ditambah maupun dikurangi. Semua anggota keluarga wajib menerima dan menaatinya walau dirasa kuran cocok dengan hatinya.[1] Ibnu Hazm al-Zhohiri berkata” “Musyawarah hendaknya dilakukan dalam hal yang boleh dikerjakan dan ditinggalkan, tidak dalam hal yang telah disyari’atkan, tidak menggugurkan yang wajib, tidak menghalalkan yang diharamkan oleh Allah, tidak mengharamkan yang halal dan tidak mewajibkan yang bukan wajib.”[2]

Jika keluarga berselisih dalam masalah akidah, ibadah dan lainnya, maka cara penyelesaiannya bukan dengan bermusyawarah, akan tetapi bersama-sama kembali kepada al-Qur’an dan hadits yang shohih. Allah berfirman:

…kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya). (QS an_Nisa’ [4]: 59)

Adapun perkara yang butuh dimusyarakahkan ialah yang berkaitan dengan perkara dunia di mana masing-masing memiliki hak atasnya. Seperti tatkala suami hendak membuat atau mengontrak rumah, atau hendak tinggal serumah bersama mertua dan yang lainnya, hendaknya ia mengajak istrinya bermusyawarah. Sampai masalah makanan yang disenangi pun perlu juga ada musyawarah.

Rasulullah ketika sakit keras saat hendak meninggal dunia, beliau bermusyawarah dengan semua istrinya, tentang di rumah siapa beliau akan dirawat? akhirnya mereka sepakat beliau dirawat di rumah Aisyah binti Abi Bakr.

Sebagai orang tua yang bijak, mereka akan gemar bermusyawarah dengan anaknya. Misalnya ketika akan menikahkan anaknya, orang tua tidak boleh memaksa anak untuk menikah dengan pilihan mereka berdua. Memang orang tua diberi hak untuk menawarkan dan menasihati, akan tetapi memaksakan kehendak tetap tidak boleh, karena yang akan menjalankan bahtera hidup berumah tangga adalah anaknya, bukan mereka berdua.

Orang tua bila ingin menikahkan anak gadisnya, hendaknya memberitahukan kepadanya; jika dia diam, berarti dia setuju. Berbeda dengan putrinya yang janda, dia lebih berhak menentukan pilihannya.[3] Bila orang tua punya pilihan, sedangkan anak juga punya pilihan, hendaknya ada musyawarah antara anak dengan orang tua sekitar mana yang lebih maslahah (baik) bagi anaknya menurut agama.

Memang suatu saat orang tua boleh mencegah putra putrinya menikah, yaitu bila calon menantunya tidak baik agama dan akhlaknya. Bahkan mereka boleh juga menyuruh anak agar menceraikan istrinya apabila menantunya benar-benar tidak baik akhlak dan agamanya. Seperti kisah Sahabat Umar bin Khothtob yang menyuruh putranya, Abdullah, agar menceraikan istrinya karena tidak baik agamanya, dan perintahnya tersebut disetujui oleh Rasululah.[4] Ini semua pelajaran bagi orang tua dan anak agar tidak terjadi ketegangan jiwa berkelanjutan dalam berumah tangga.

Demikian juga hendaknya ada musyawarah yang baik antara sesama besan (antara orang tua masing-masing pasutri). Utamanya bila anak mereka yang sudah menjadi pasutri tidak mampu memecahkan perkara yang timbul di antara mereka berdua. Dan hendaknya masing-masing mertua tidak membela anaknya sendiri, akan tetapi bersepakat untuk mencari mana yang lebih baik dan bermanfaat bagi anak-anak mereka dan diridhoi oleh Allah.

Allah berfirman:

Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. an-Nisa’ [4]: 35)

Ketika anak sedang bermasalah dengan bapak, hendaknya sang ibu mengambil sikap yang bijak sebagai orang tua, tidak membela anaknya sehingga terjadi kesenggangan antara anak dan bapak atau sebaliknya. Upayakan ada kerja sama sehingga anak merasa harus berbuat baik kepada kedua orang tuanya.

Bagaimana Cara Bermusyawarah?

Dalam sebuah musyawarah tentu banyak beda pendapat. Hal ini wajar sebab setiap orang pasti memiliki keinginan, kemampuan akal dan keilmuan agama yang berbeda. Sehingga tentunya sulit untuk mencapai kesamaan dan penyelesaian yang memuaskan antara semua anggota keluarga, apalagi bila masing-masing ingin diterima pendapatnya. Bila itu yang terjadi maka tidak ada manfaatnya bermusyawarah.

Bermusyawarah adalah untuk mencapai tujuan bersama yang baik. Maka perlu ada orang yang alim (berilmu) tentang agama sebagai rujukannya. Kesepakatan memilih seorang alim akan banyak memberi manfaat bagi seluruh anggota keluarga. Dan pendapat seorang yang berilmu agama hendaknya lebih didahulukan daripada yang lain. Ibnu Qudaman al-Kaqdisi berkata: “Jika ada masalah baru yang sulit dipecahkan maka hendaknya dimusyawarahkan oleh ahli ilmu dan orang yang amanah.[5]

Untuk menggapai tujuan bersama, dituntut ada yang mau mengalah selagi tidak melanggar agama. Karena bisa jadi semua usulan yang benar tidak akan bisa diterima semua oleh anggota keluarga yang turut dalam musyawarah. Hendaknya dipilih pendapat yang lebih banyak manfaat dan kebaikannya untuk bersama. Hendaknya juga dihidupkan sikal saling menghargai pendapat orang lain walaupun tidak harus menerimanya. Dan jika terpaksa harus membantah, hendaknya tetap dengan lemah lembut, tidak emosi, dengan tutur kata yang baik.[6] Hindari melantangkan suara dan membodoh-bodohkan orang lain.[7] Menjaga sikap saling percaya, jujur, amanah, dan selalu berupaya menunjukkan dalil atas pendapat, pilihan atau usulannya. Hal ini akan menarik anggota keluarga untuk mudah menerimanya sehingga dengan mudah akan didapat hasil musyawarah yang diridhoi oleh Allah.

Kapan Waktunya Bermusyawarah?

Untuk menentukan waktu musyawarah yang tepat, dilihat dulu masalahnya. Jika perkaranya mendesak untuk segera diselesaikan, hendaknya segera diselesaikan agar perkaranya tidak makin meruncing. Misalnya tatkala anak sudah berkeingin menikah dan meminta restu dari orang tua, maka orang tua hendaknya segera mengajak anak bermusyawarah. Jika tidak, bisa jadi anak akan nekat sebab terkatung-katungnya keinginan mereka. Bisa juga ia terjatuh ke dalam perzinaan sehingga urusannya akan bertambah parah, bahkan orang tua ikut menanggung akibat jeleknya.

Jika perkaranya bisa ditunda, karena jika diselesaikan dengan segera boleh jadi justru akan menambah masalah, maka sebaiknya ditunda. Misalnya tatkala timbul masalah antara pasutri, sementara suami jiwanya pemarah dan bisa bersikap kasar kepada istri dan anaknya, maka jika ada masalah hendaknya musyawarah ditunda sampai emosi atau marahnya padam. Bila perlu si istri hendaknya menanyakan dahulu kepada suami dengan menawarkan waktu yang tepat untuk bermusyawarah. Jika setuju dimusyawarahkan maka dilakutkan, dan jika tidak, hendaknya bersabar sambil menasihatinya. Hal demikian karena musyawarah bertujuan menyelesaikan perkara, bukan menambah parahnya perkara.

Bukan Ghibah dan Curhat Semata

Musyawarah hendaknya dilaksanakan dengan serius untuk merundingkan suatu masalah yang akan dikerjakan atau yang sedang dialami yang menjadi hak bersama. Dengan musyawarah diharapkan akan terwujud kesepakatan bersama, tidak ada yang merasa dirinya dirugikan dan tidak pula merugikan orang lain.

Untuk mencapai tujuan yang baik, hendaknya ada kesadaran dari semua anggota keluaraga dan masing-masing diberi hak untuk menyampaikan isi atau curahan hatinya. Akan tetapi hendaknya masing-masing punya prinsip, bahwa apa yang disampaikan melalui forum musyawarah hanya sebagai tawaran atau usulan yang mungkin diterima atau ditolak. Maka yang tidak diterima pendapatnya tidak boleh marah atau putus asa, dan yang diterima tidak boleh sombong karena merasa mampu mengalahkan lawannya.

Di dalam bermusyawarah tidak boleh mudah tersinggung atau emosi bila sebagian pendapatnya ditolak, karena musyawarah bermaksud memilih yang lebih baik dari sekian yang baik menurut ijtihad bersama. Dan bagi yang merasa salah harus menerima yang benar. Tidak sepantasnya dia beranggapan bahwa dirinya dighibah atau telah dibongkar kesalahannya atau telah difitnah. Karena tujuan musyawarah adalah untuk menyelesaikan dan memperbaiki yang salah. Jika tidak diungkp yang salah maka tida ada gunanya mengadakan musyawarah.

Karena itu tatkala Hindun datang kepada Nabi mengungkapkan kebakhilan suaminya, beliau tidak mengatakan kepadanya bahwa ia telah mengghibah suaminya, karena tujuan Hindun adalah meminta nasihat agar bisa mengambil keputusan yang benar.

Berbeda dengan mengghibah, sebelum bermusyawarah pengghibah telah mempunya niat yang jelek ingin menghina keluarga yang salah. Biasanya, ketika bermusyawarah ia dikuasai oleh nafsu, wajah memerah, lantang suaranya atau kasar tindakanyannya. Bahkan ketika perkaranya sudah diselesaikan pun hatinya tetap mendendam. Tindakan seperti ini telah dikutuk oleh Allah dalam firman-Nya:

…dan jangannlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. al-Hujurot [49]:12)

Kesimpulannya, bermusyawarah bukan untuk mencari-cari kesalahan keluarga, bukan unutk mengghibah, dan bukan hanya mencurahkan isi hati atau curhat semata.

Bermusyawarah juga bukan untuk mencari dukungan yang lebih banyak, pokoknya yang banyak pendukungnya itulah yang menang meski merupakan pendapat yang salah, sedangkan pendapat yang baik lagi benar akan dinilai salah karena tidak banyak pendukungnya. Jika prinsip “demokrasi” yang jelas keliru ini diterapkan dalam musyawarah keluarga, maka musyawarah seperti ini hanya akan sia-sia saja, atau bahkan merupakan kesepakatan menuju adzab-Nya

Wallohul Musta’an

Disalin dari Al Mawaddah Edisi Ke-8 Tahun Ke-2 :: Rabi’ul Awal 1430 H :: Maret 2009

Catatan Kaki

  1. Baca surat an-Nisa’ ayat 59
  2. Al-Muhalla bil Atsar 9/364
  3. HR. Bukhori. Bab Nikah 7/239
  4. HR Abu Dawud, Bab Berbuat Baik Kepada Kedua Orang Tua 13/349
  5. Al-Mughni 10/99
  6. Baca surat an-Nahl ayat 125
  7. Baca surat al-Furqon ayat 63

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *