Belum Waktunya | Jilbab Online

Sumber ilustrasi

Mungkin ada benarnya bila ada orang berkata, teori belum tentu sama ketika dipraktikkan. Tapi kalau orang sudah praktik secara otomatis ia akan tahu teorinya. Apalagi bila seseorang sering praktik, meski ia bukan seorang pelajar/tidak pernah belajar teori, bila ditanya pasti akan bisa tahu teorinya, bahkan secara “insting” ia akan tahu apa yang kurang bila hasil akhirnya kurang baik. Demikian juga dengan melahirkan, antara teori dan praktik kadang terjadi perbedaan…

Kisah ini adalah kisah Ummu Afra di K, yang disalin dari majalah Sakinah, Volume 10, No. 5, 15 Agustus – 15 September 2011 / Sya’ban – Ramadhan 1432.

Pernikahan yang aku bangun delapan tahun lalu telah menghadirkan empat momongan. Dua anak laki-laki dan dua perempuan. Tiga buah hatiku lahir sehat dan normal. Semuanya dibantu bidan desa.

Si sulung lahir tepat satu setengah tahun pernikahanku. Persis 9 bulan 10 hari. Selama mengandungnya pun aku tak mengalami kendala berarti. Morning sick hanya kualami sebulan, usai itu semua terasa biasa saja, makan apa saja oke dan tak mengidam aneh-aneh. Makanya tak heran, bobot normalku yang cuma 38 kg bisa tembus angka 62 kg! Dokter sempat mengingatkanku. “Ngga’ bagus lho Bu, kalo berat berlebihan.”

Saat hendak melahirkan si sulung, hampir aku ditolak bu bidan. Bukan apa-apa, tapi karena tak kebagian ranjang, karena saat itu memang cuma muat untuk tiga pasien. Tapi aku memaksa, sakit di perutku sudah membuatku gemetar luar biasa. Akhirnya, oleh bu bidan aku digelarkan kasur di lantai. Qadarullah, tak sampai setengah jam di sana, aku yang merupakan pasien yang terakhir justru melahirkan lebih dulu. Alhamdulillah, proses melahirkanku diberi kemudahan oleh Allah. Kalau orang jawa bilang “gampang-gangsar”. Pagi pukul sembilan melahirkan, sore sudah diizinkan pulang.

Anak keduaku lahir dibantu oleh bidan yang sama. Meski sudah tua, bu bidan tetap banyak pasien. Di samping beliau ramah, beliau punya banyak pengalaman. Sudah kenyang makan asam garam membantu pasien. Selain itu, jiwa sosialnya tinggi. Jadi, pasien merasa senang dan nyaman berobat ke sana, termasuk aku.

Anak keduaku lahir selang 18 bulan dari si sulung. Alhamdulillah, seperti halnya si kakak, tak ada kendala berarti saat aku melahirkannya. Hanya saja aku harus mengejan ekstra dari saat pertama. Kalau kuhitung-hitung, aku mengejan belasan kali. Hal ini karena bayiku terlilit tali pusar. Jadi begitu kepala sudah mulai terlihat di jalan lahir, bila kontraksi berhenti atau aku kurang keras mengejan, bayi akan masuk kembali. Dan itu terjadi berulang kali. Kuingat betul, tiap jeda aku bisa istirahat, aku selalu minta minum teh hangat. Dan bu bidan melayaniku dengan sabar. Nah, begitu kontraksi datang, aku siap dengan tenaga baru. Alhamdulillah, setelah bayi keluar masuk belasan kali, dengan sisa tenaga yang kupunya putriku lahir selamat dengan berat 3,4 kg.

Persalinan ini merupakan persalinan dengan bu bidan lama. Beliau pensiun dan kembali ke daerah asalnya. Banyak yang kehilangan beliau.

Tak sampai sebulan, bidan muda dari kota menggantikan tugas beliau. Saat anak ketigaku lahir, bu bidan baru ini yang menolongku. Meski ramah, ia terlihat masih sedikit canggung. Dan saat persalinan anak ketigaku, ada peristiwa lucu.

Aku terus mengalami kontraksi terus-menerus. Bayi terasa kuat mendorong, maka dengan spontan aku pun mengejan, bu bidan itu menegusku. “Jangan mengejan dulu Bu, belum waktunya!”

Dalam hati aku membatin, bayinya saja sudah mendorong pengin keluar, masa’ saya tahan-tahan? Kalau ngga’ boleh mengejan, kapan bayinya bisa keluar?! Coba kalau bu bidan yang merasakan sendiri…,” ucapku setengah tinggi.

Bu bidan cuma tersenyum sambil meminta maaf.

“Aduh maaf Bu.. Teori yang saya terima begitu. Kalau soal rasa dan praktiknya saya belum tahu sendiri. Kan saya belum menikah…?” Ucapnya polos, Spontan kami berdua tertawa. O, pantas saja. bu bidan baru tahu teori dan belum pernah “praktik” melahirkan sendiri. Ternyata ia masih single, ia belum terlalu tahu, “medan”. Lain dengan bu bidan lama, yang tak cuma tahu teori tapi juga “sudah praktik sendiri” rasanya bersalin. Jadi lebih “menjiwai” dan mengerti pasien. Bila melihat pasien mulai kontraksi, ia akan segera tanggap “lahir batin”.

Alhamdulillah, putri ketigaku akhirnya lahir selamat. Dan saat aku melahirkan anak keempat, aku bisa melihat dan merasakan bu bidan muda ini sudah terlihat luwes dan menyatu dengan profesionya. Ia sudah banyak pengalaman menangani pasien. Dan ia tak kalah dari bu bidan lama, untuk soal pengabdian. Dan memang benar, pengalaman akan selalu membuat orang belajar menjadi lebih baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *