Tiga Buah Hati | Jilbab Online

Sumber ilustrasi

Perjalanan kehamilanku bisa dibilang tidak mulus. Bagaimana tidak? Aku barangkali harus kehilangan calon bayiku antara usia 2 sampai 3 bulan. Aku mengalaminya hingga 4 kali.

Alhamdulillah, begitu menikah, lima bulan kemudian aku dinyatakan positif hamil. Bukan main bahagia keluarga besar kami mendengar kabar itu. Lebih-lebih aku dan suami, kami sudah membayangkan hal-hal indah bakal jadi calon orang tua baru. Namun Allah berkehendak lain, menjelang tahun baru 2006, tepat di malam pergantian tahun, aku kehilangan kandunganku yang berusia hampir 3 bulan. Runtuh duniaku. Hingar bingar suara kembang api dan petasan di luar sana kian membuat hatiku koyak…

Alhamdulillah, aku tak lama terpuruk berkat dukungan seluruh keluarga. Hanya selang beberapa bulan dari keguguran pertama, aku hamil lagi. Namun kembali aku harus kehilangan calon bayiku dalam usia 3 bulan. Kalau dipikir-pikir mungkin ini karena pengaruh beberapa faktor. Yang paling utama, mungkin aku terlalu lelah. Bayangkan saja, aku harus menempuh perjalanan 50 km pulang pergi setiap hari untuk mengajar. Kala itu, kami masih mengontrak. Untuk mencari kontrakan di daerah kota tempat aku mengajar sangat mahal, tak terjangkau kocek kami yang baru saja belajar berumah tangga. Jadi risikonya, kami harus ngontrak di daerah pinggiran dan jauh dari tempat mengajar. Dan yang pasti, Allah memang belum berkehendak menitipkan momongan pada kami.

Kami juga konsultasi ke dokter bagaimana baiknya. Karena menurut dokter, ada banyak faktor yang perlu diperhatikan selain kelelahan. Dokter memintaku menjalani tes kesehatan. Dan benar saja, aku menderita virus toksoplasma. Untuk lebih pastinya aku juga menjalani tes TORCH. Tak cuma itu, rahimku ternyata juga menolak “benda asing”, termasuk sperma. Dokter menyarankan aku KB IUD sementara waktu, untuk membiasakan rahim terhadap benda asing.

Alhamdulillah terapi berhasil, dua bulan setelah IUD dilepas aku langsung hamil. Aku juga berhenti mengajar. Kebetulan pula pada saat itu, alhamdulillah, kami sibuk pindah ke rumah baru yang kami beli. Selebihnya, waktuku kupakai untuk mengajar les privat di rumah dan menjaga kesehatanku. Akhir 2007, putri pertamaku lahir dengan selamat melalui operasi caesar. Posisinya melintang dan kelewat besar, 4,2 kg, 51 cm.

Saat si sulung berusia 7 bulan, aku hamil lagi. Sempat panik dan taku juga. Begitu dokter tahu, aku sempat kena marah.

“Ibu itu bagaimana? Jarang kehamilan terlalu dekat, bisa bahaya untuk ibu dan bayi. Luka operasi juga belum lama sembuh. Tapi ya sudah wong sudah terlanjut ya, ibu harus hati-hati sering kontrol.” Meski dokter tak yakin sepenuhnya dengan kehamilanku, ia mensupport-ku dengan nasihat dan saran-saran. Dengan tawakkal kujalani kehamilan kali ini.

Cobaan baru datang, di usia kehamilan 6 bulan, aku dan suami harus bolak-balik ke Jakarta karena bapak dirawat di sana akibat komplikasi. Ibu sebenarnya melarangku ke Jakarta, tapi aku nekat. Aku memang sangat dekat dengan bapak. Dua bulan lebih aku bolak-balik. Keadaan bapak yang terus menurun sempat membuat aku shock dan drop. Suami, ibu, dan dokter mengingatkanku. Aku harus pasrah dengan keadaan bapak dan harus memerhatikan kesehatan janinku. Alhamdulillah, masuk bulan ke-9 kehamilan, kondisi bapak membaik. Beliau bisa pulang ke rumah.

Tepat sepekan bapak di rumah, putrik keduaku lahir. Lagi-lagi dengan operasi caesar, lebih cepat 3 pekan dari HPL. Perutku terasa kencang tanpa henti. Takut ada apa-apa, kami ke dokter. Hari itu juga, aku harus menjalani operasi. Sepanjang operasi dokter ngomel-ngomel.

“Sudah, habis ini jangan hamil lagi. Coba lihat ini rahim baru dirobek dikit kepala dan tangan bayi langsung keluar. Rahim kamu sudah tipis Bla.. bla..” setengah sadar aku mendengar omelan dokter. Di tengah bahagiaku, bapak pergi sepekan kemudian.

Tak sampai dua tahun kemudian, aku mengandung lagi. Sempat takut juga bila ingat kata dokter langgananku. Tapi ibu bilang, “Tawakal saja Nak, itu rezeki dari Allah. Ngga’ mungkin Allah memberi lagi, kalau kamu tak mampu menjalaninya.” Kata-kata ibu, menjadi semangat dan menghalau rasa khawatirku. Alhamdulillah, semua lancar sampai usia 7 bulan.

Hingga suatu hari si sulung tanpa setahuku menggeser tempat duduk yang hendak kupakai. Aku jatuh duduk terjungkal karenanya. Sempat menangis karena perutku sakit. Namun setelah beristirahat, rasa sakit itu berangsur hilang.

Putri ketigaku, akhirnya lahir prematur, 7 bulan 3 pekan. Rahimku sudah sedikit robek saat operasi. Ternyata benar kata dokter, rahimku sangat tipis dan mudah robek, apalagi kontraksi terjadi terus-menerus siang itu.

“Sudah bu, dikeluarkan sekarang saja. Bahaya ini. Sekalian minta izin steril. Sudah ngga’ bisa ambil risiko lagi.”

Meski sedih, kuturuti saran dokter. Bahkan operasi kali ini memakan biaya 3 kali lipat operasi sebelumnya karena tingkat kesulitan lebih tinggi. Dokter harus “menambal sulam rahimku” berulang kali karena kondisinya tipis dan robek di beberapa bagian.

Namun di sisi lain, kami tetap bersyukur, Allah telah menitipkan 3 cinta buah hati pada kami. Mudah-mudahan kelak menjadi generasi robbani. (*)

Kisah nyata dari mbak vit sekeluarga di S yang disalin dari majalah Sakinah Volume 10, No.4, 15 Juli – 15 Agustus 2011, Rajab – Sya’ban 1432 H.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *